BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Anak  angkat adalah bagian dari segala tumpuhan dan harapan kedua orang tua  (ayah dan ibu) sebagai penerus hidup. Mempunyai anak merupakan tujuan  dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian  harta kekayaan. Mempunyai anak adalah 
kebanggaan dalam keluarga. Namun,  demikian tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan  harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami  kesulitan dalam memperoleh keturunan. Sedang keinginan untuk mempunyai  anak nampaknya begitu besar. sehingga kemudian di antara merekapun ada  yang mengangkat anak.Pengangkatan anak terbagi dalam dua  pengertian, yaitu: pertama, pengangkatan anak dalam arti luas. Ini  menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya  antara anak sendiri terhadap orang tua sendiri. kedua, ialah  pengangkatan anak dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang  lain
ke dalam keluarga sendiri dan hubungan  antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas  pada hubungan sosial saja. 
Di Indonesia, ada tiga  sistem hukum yang berlaku dan mengatur permasalahan tentang pengangkatan  anak. Ketiga sistem hukum itu adalah hukum Islam, hukum Adat dan hukum  Barat. Untuk sementara pembahasan mengenai hukum adat dan hukum Barat  tidak kami sebutkan di sini, melainkan lebih dikonsentrasikan terhdap  hukum Islam.
    Agama Islam pada dasarnya tidak melarang praktek  pengangkatan anak, sejauh tidak mempengaruhi dan tidak merubah hubungan  nasab atau keturunan antara  anak dengan orang tua kandungnya, Praktek  pengangkatan anak akan dilarang ketika hal ini berakibat keluarnya anak  angkat dari hubungan nasab atau keturunan antara anak dengan orang tua  kandungnya sendiri dan masuk dalam hubungan nasab dengan orang tua  angkatnya . Larangan  pengangkatan anak dalam arti benar-benar  menjadikan sebagai anak kandung didasarkan pada Firman Allah SWT. Dalam  surat  Al-ahzab (33) ayar 4 dan 5.
      Dia tidak menjadikan  anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu  hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. 5. Panggilah mereka (anak-anak  angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih  adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,  Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan  maula-maulamu.
    Pengangkatan anak yang diperbolehkan hukum  Islam juga tidak berpengaruh dalam hukum kewarisan. Dengan demikian  Islam tidak menjadikan anak adopsi sebagai sebab terjadinya hak  waris-mewarisi antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.
B. Rumusan Masalah
Dari  latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat  Penyusun sampaikan satu hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian  ini, yaitu:
1.    Bagaimana kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum Islam di Indonesia?
2.    Mengapa Kompilasi Hukmum Islam  memberikan hak kepada anak angkat untuk memperoleh harta?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertain anak angkat dan harta waris
1. Pengertian anak angkat
     Pengertian anak angkat secara bahasa atau etimologi dapat diartikan  sbagai berikut : Pertama, anak angkat dalam bahasa arab disebut  “tabanny”  yaitu suatu kebiasaan pada masa jahiliyah dan permulaan Islam  yaitu apabila seorang yang mengangkat anak orang lain sebagai anak,  yaitu berlakulah hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung dan menurut  Muhammad Yunus mengartikannya dengan mengambil anak angkat, sedangkan  dalam kamus Munjid diartikan ‘ittikhhadzahu ibnan’ , yaitu manjadikannya  sebagai anak.  Kedua anak angkat  yang berasal dari kata ‘”luqata”   yang berarti mengambil anak pungut  artinya pengangkatan anak yang belum  dewasa  ditemukan dijalan  dan tidak diketahui keturunannya.
     Pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi yang berasal dari  bahasa Inggris yaitu “adoptie” atau “adopt “.  Pengertiannya dalam  bahasa belanda menurut  kamus hukum adalah pengangkatanseorang  anak  untuk dijadikan anak kandung.   Sejalan dengan pengeratian anak angkat,  KHI kemudian memasukan akibat hukum dari pengangkatan anak menurut  Mu’thi Artho, yaitu: 
a.    Beralih tanggungjawab pemeliharaan  hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya dari orang tua asal  kepada orang tua angkat.
b.    Pengangkatan anak tidak memutuskan  hubungan darah / nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya  sehingga tetap berlaku hubungan mahram dan saling mewarisi.
c.    Pengangkatan anak tidak menimbulkan hubungan darah/ nasab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.
Demikian  merupakan penjabaran dari pasal 171 KHI pada huruf h, yang mengatakan  bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya  sehari hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya  dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan  Pengadilan;  jika melihat pengertian tersebut maka dapat diartikan pula  bahwa anak angkat di sini telah menjadi bagian keluarga dari orang tua  yang mengangkatnya. Sebagai bagian dari keluarga (anak), iapun berhak  mendapatkan cinta dan kasih sayang orang tua seperti yang lainnya.
2. Pengertian waris
     Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang  yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya (Wirjono Prodjodikoro,  1991:13). Dalam istilah lain waris juga disebut dengan fara’idh, yang  artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama islam kepada semua  yang berhak menerimanya (Moh. Rifa’I, Zuhri, dan Solomo, 1978:242). 
Selain  itu pengertian waris juga terdapat pada pasal 171 ayat (a) KHI yang  berbunyi : "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang  pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan  siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya  masing-masing." Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah  untuk menamakan hukum kewarisan Islam seperti faraid, fikih mawaris dan  hukum waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam  arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Selain kedua istilah  tersebut, kata yang lazim dipakai adalah faraid.  Beberapa ahli hukum di  Indonesia tidak mempergunakan penamaan tersebut secara seragam.  Misalnya saja, Wirjono Prodjodokoro, menggunakan istilah hukum warisan.  Hazairin, mempergunakan istilah hukum kewarisan. dan Soepomo menyebutnya  dengan istilah hukum waris. 
Pembahasan hukum waris disini hanya  tertuju kepada anak angkat, sebagaimana latar belakang diatas, maka  tidak ada tuntutan hak yang lebih bagi si anak angkat dari sekedar  mendapatkan kasih sayang orang tua angkatnya, serta memenuhi segala  kewajiban sebagaimana anak terhadap orang tua. Namun demikian, kasih  sayang itupun tidak hanya dapat diwujudkan secara moral saja, tetapi  juga diwujudkan secara materil.  Adapun mengenai anak angkat perlu ada  penegasan bahwa sesuai dengan ketentuan hukum Islam anak angkat tidak  mewarisi orang tua angkatnya. Akan tetapi, anak angkat berhak  mendapatkan bagian harta dari orang tua angkatnya melalui prosedur  lain.  Yakni dengan cara melalui wasiat wajibah. Sebagai mana yang telah  diungkapkan dalam hasil kesepakatan yakni berupa KHI bahwa :
“Terhadap  anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah  sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. 
B. Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Dalam Hukum Islam
     Hukum Islam atau Syariat Islam merupakan syari’ah yang universal,  Al-Qur’an sebagai pokok yang fundamental dalam syariat Islam berisi  ketentuan-ketentuan yang lengkap. Hal ini yang mencakup ke  segenap  bentuk tingkah laku manusia yang akan muncul di masa yang akaan datang.  Semua tingkah laku itu dapat diukur dengan norma dan ukuran yang  pedomannya terdapat dalam Al-Quran. Dengan demikian garis hukum apapun  yang akan dibuat oleh manusia dapat diukur menurut  Al-Quran.
     Ada tiga cara pendekatan untuk memahami islam atau Syari’at Islam,yakni  dengan pendekatan nakli atau tradisional, pendekatan aqli atau akal dan  pendekatan kasyfi atau mistik. Ketiga pendekatan tersebut sudah ada  sejak zaman nabi Muhammad SAW, dan terus digunakn oleh ulama-ulama  selanjutnya.  
1.    Analisis Hukum Kewarisan Anak Angkat  Menurut Ulama Klasik
Anak  angkat menurut Pendapat Ulama klasik tidaklah mendapatkan hak waris,  karena tidak adanya hubungan darah atau perkawinan, namun KHI  mengisyaratkan dengan cara memberi wasiat wajibah terhadap anak angkat.   Yang mana melaksanakan wasiat menurut Imam empat madzhab, hukum asalnya  sunnah berdasarkan kata yuridu (arab) dalam hadits yang diriwayatkan  Imam Maliki dari An-Nafi sebagai berikut : "Tidak ada hak bagi seorang  Muslim yang mempunyai sesuatu (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai  bermalam dua malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya". Para Imam  empat madzhab berpendapat bahwa berwasiat hendaknya sunah dengan alasan,  karena tidak ada dalil yang menyatakan Rasulullah SAW dan para  sahabatnya melaksanakannya. Namun demikian wasiat dapat beralih hukumnya  wajib, mubah, dan makruh bahkan haram tergantung pada maksud dan  tujuannya. 
2.    Analisis Hukum Kewarsan Anak Angkat Menurut Organisasi
a.    Muhammadiyah
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
 ...  وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَالِكُمْ قَوْلُكُمْ  بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ.  اُدْعُوْهُمْ لِأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لَّمْ  تَعْلَمُوْا ءَابَآءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ.  [الأحزاب (33): 4-5].
Artinya: “… dan Dia tidak  menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang  demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan  yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah  mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka;  itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui  bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu  seagama dan maula-maulamu (hamba sahaya yang sudah dimerdekakan) …” [QS.  al-Ahzab: (33): 4-5]. 
Dari ayat al-Qur’an di atas, diperoleh  ketegasan bahwa anak angkat tidak boleh didaku dan disamakan sebagai  anak kandung, sehingga dalam pembagian harta warisan, anak angkat yang  tidak memiliki hubungan nasab atau hubungan darah dengan orang tua  angkatnya tidak dapat saling mewarisi. Dengan kata lain anak angkat  tidak mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya,  demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi harta warisan  anak angkatnya. Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam kedudukan anak angkat  dalam pembagian harta warisan disebutkan sebagai penerima wasiat;  sebagaimana disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2): “Terhadap anak angkat  yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3  harta orang tua angkatnya”. Atas dasar ketentuan tersebut, maka jika dua  orang anak angkat sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan ini,  tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia berhak menerima  wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan yang  ditinggalkan oleh orang tua angkatnya. 
b.    Nahdlatul Ulama
Ulama  Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur  pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam  fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa "Mengangkat anak orang lain untuk  diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak  sah." Sebagai dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW. "Barang  siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang  tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya."  Qatadah berkata, siapapun tidak boleh mengatakan "Zaid itu putra  Muhammad". (Khazin, Juz Vi hlm 191) "Pengangkatan anak tak bisa  menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram  maupun hak waris," papar ulama NU dalam fatwanya.  Jadi anak angkat  tidak berhak menerima harta warisan, tetapi dengan melihat kasih sayang  diberikan sianak angkat dan perjuangannya dalam mengurus orang tua  angkatnya maka demi kemaslahatan Ulama NU sepakat dengan keputusan KHI  bahwa anak angkat berhak menerima harta dengan jalan diberikannya wasiat  wajibah,
3.    Analisis Hukum Kewarisan Anak Angkat Menurut Penulis
Bicara  masalah hak waris anak angkat, memang tidak ada dalil yang membolehkan  adanya hak waris terhadap anak angkat, namun alangkah baiknya anak  angkat tetap diberikan harta atas peninggalan orang tua angkatnya. Yakni  dengan jalan memberinya wasiat sebagaimana yang telah diungkapkan  didalam buku Fiqh Mawaris (Beni Ahmad Saebani, 2009:346): wasiat dapat  ditujukan kepada siapapunsesuai dengan kehendak orang yang berwasiat,  bahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan pun hukumnya boleh. Maka  dengan demikian menurut penulis tidak ada halangan anak angkat boleh  diberikan dengan jalan wasiat, karena anak angkat sangatlah berjasa yang  telah merawat orang tua angkatnya bahkan dia yang telah menjalankan  roda perekonomian keluarga.
BAB III
KESIMPULAN
anak  angkat tidak boleh didaku dan disamakan sebagai anak kandung, sehingga  dalam pembagian harta warisan, anak angkat yang tidak memiliki hubungan  nasab atau hubungan darah dengan orang tua angkatnya tidak dapat saling  mewarisi. Dengan kata lain anak angkat tidak mewarisi harta warisan yang  ditinggalkan oleh orang tua angkatnya, demikian pula sebaliknya orang  tua angkat tidak mewarisi harta warisan anak angkatnya. Namun, dalam  Kompilasi Hukum Islam kedudukan anak angkat dalam pembagian harta  warisan disebutkan sebagai penerima wasiat; sebagaimana disebutkan dalam  Pasal 209 ayat (2): “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat  diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta orang tua angkatnya”.  Atas dasar ketentuan tersebut, maka jika dua orang anak angkat  sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan ini, tidak menerima wasiat  dari orang tua angkatnya, maka ia berhak menerima wasiat wajibah  sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan yang ditinggalkan oleh orang  tua angkatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Soeroso R, Perbandingan Hukum Perdata, cet. ke-4 (Jakarta: Sinar Grafika, 2001)
 H.Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, Hukum perlindungan dan pengangkatan anak diindonesia, (Jakarta : Gema Insani Press, 1991)
 Mahmud Yunus, kamus arab indonesia, ( Jakarta: Hidakarya Agung, 1972)
 Muderis Zaini, Adosi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum,( Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
 Soebekti, kamus hukum, (Semarang :CV. Aneka Ilmu, 1995)
 Mu’thi Artho,  “Pengangkatan anak menurut Hukum Islam,”  makalah, (Perpustakaan Pengadilan Agama Bantul).
H. Abdurrahman, Kompilasi hukum Islam, Akamedika pressindo, Jakarta 2007
Beni Ahmad Saebai, fiqh mawaris,Pustaka Setia, Bandung, 2009
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung, 2005
Amirullah , www.stain-papua.ac.id/jurnal/jurnal/2011/70-washiyat-wajibah-menurut-fiqih-dan-perundang-undangan-di-indonesia.html
www.id-id.facebook.com/note.php?note_id=209463365759114
www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/06/13/119639-mengadopsi-anak-menurut-hukum-islam
Disusun oleh : Sulaiman 
.gif) Anda sedang membaca artikel berjudul
Anda sedang membaca artikel berjudul  


0 komentar:
Posting Komentar