Home » » Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Undian Berhadiah

Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Undian Berhadiah

A. Tinjauan Umum Mengenai Undian
1.    Pengertian Undian Berhadiah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, undian diartikan dengan sesuatu yang diundi (lotre). Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa lotre itu berasal dari Bahasa Belanda “loterij” yang artinya undian berhadiah, nasib, peruntungan. Dalam Bahasa Inggris juga terdapat kata “lottery” yang berarti undian.1
Sementara itu, dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan bahwa undian (qur’ah) merupakan upaya memilih
sebagian pilihan (alternatif) dari keseluruhan pilihan yang tersedia dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap pilihan yang tersedia itu memiliki kemungkinan (probabilitas) yang sama besarnya untuk terpilih. Undian merupakan upaya paling mampu menjauhkan unsur keberpihakan dalam memilih dan dapat
dilakukan untuk maksud-maksud yang jauh sama sekali dari perjudian.2
Mengacu pada pengertian di atas, kata undian itu sinonim dengan pengertian lotre, di mana dalam lotre ada unsur spekulatif (untung-untungan mengadu nasib). Namun, di masyarakat kata undian dan lotre pengertiannya dibedakan, sehingga hukumnya pun berbeda. Kalau dalam undian tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Oleh karena itu undian hukumnya boleh, seperti undian kuis berhadiah sebuah produk di televisi. Sedangkan dalam lotre ada pihak yang dirugikan. Oleh karena itu hukumnya haram.3
2.    Jenis-jenis Undian
Ditinjau dari sudut manfaat dan mudaratnya, ulama mazhab (Mazhab Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i) membagi undian atas dua bagian, yaitu undian yang mengandung unsur mudarat atau kerusakan dan undian yang tidak mengandung mudarat dan tidak mengakibatkan kerugian.4
Adapun undian yang mengandung unsur mudarat atau kerusakan terdiri dari dua jenis undian yaitu:
a. Undian yang menimbulkan kerugian finansial pihak-pihak yang diundi. Dengan kata lain antara pihak-pihak yang diundi terdapat unsur-unsur untung-rugi, yakni jika di satu pihak ada yang mendapat keuntungan, maka di pihak lain ada yang merugi dan bahkan menderita kerusakan mental. Biasanya, keuntungan yang diraihnya jauh lebih kecil daripada kerugian yang ditimbulkannya. Undian yang terdapat unsur-unsur ini dalam Al-Qur’an disebut al-maisir (QS Al-Baqarah: 219).5
b. Undian yang hanya menimbulkan kerugian atau kerusakan bagi dirinya sendiri, yaitu berupa kerusakan mental. Manusia menggantungkan nasib, rencana, pilihan dan aktivitasnya kepada para “pengundi nasib” atau “peramal”, sehingga akal pikirannya menjadi labil, kurang percaya diri dan berpikir tidak realistik. Undian semacam ini dalam Al-Qur’an disebut dengan al-azlam (QS Al-Maa’idah: 90).6
Sedangkan undian yang tidak mengandung atau menimbulkan mudarat dan tidak mengakibatkan kerugian, baik bagi pihak-pihak yang diundi maupun bagi pihak pengundi sendiri para pelakunya hanya mendapatkan keuntungan di satu pihak dan pihak lain tidak mendapat apaapa, akan tetapi tidak menderita kerugian. Yang termasuk dalam kategori ini ialah segala macam undian berhadiah dari perusahaan-perusahaan dengan motif promosi atas barang produksinya, undian untuk mendapatkan peluang tertentu (karena terbatasnya peluang tersebut) seperti undian untuk berangkat menunaikan ibadah haji dengan cuma-cuma dan undian untuk menentukan giliran tertentu, seperti dalam arisan. Termasuk juga dalam kategori ini bentuk undian dalam kategori prioritas urutan dalam perlombaan, baik olahraga maupun kesenian.7
3.    Dasar Hukum dan Ketentuan Syara’ Tentang Undian
Dalil syara’ yang menyebutkan tentang undian, dalam pengertian judi, terdapat pada QS Al-Baqarah ayat 219 dan Al-Maa’idah ayat 90-91. Dalam hal ini juga berlaku pula ketentuan QS Al-Maidah ayat 3 yang mengharamkan undian hasib ( azlam ).8
Yang menjadi perhatian berdasarkan ayat-ayat di atas ialah kerusakan yang ditimbulkannya. Judi diharamkan karena mengandung  kerusakan yang besar, meskipun ada sedikit manfaatnya. Sedangkan yang menjadi sumber awal kerusakannya ialah angan-angan pada keuntungan besar, padahal yang diperoleh hanya kerugian dan kehancuran. Di sini berlaku suatu kaidah yang memandang perlu menghambat terjadinya kerusakan (sadd azzari’ah) yaitu : dar ‘al-mafaasid muqaddam ‘alaa jalb al-mashaalih) (menghindari kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan). Kerusakan yang akan ditimbulkannya harus dihambat atau ditutup, sehingga tidak akan timbul kerusakan-kerusakan lainnya yang jauh lebih besar.9
Untuk undian yang tidak mengandung kerusakan sama sekali atau bahkan mengandung kerusakan sama sekali atau bahkan mengandung manfaat, seperti undian dalam arisan, kuis berhadiah atau undian berhadiah sebagai promosi dari perusahaan-perusahaan, Islam membolehkannya. Ini sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW sendiri, menurut sebuah hadits yang disepakati Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar, yang artinya :
“Apabila hendak bepergian, Rasulullah mengundi istri-istrinya untuk menentukan siapa yang lebih berhak ikut bersamanya.” Segala bentuk undian ini, khususnya di Indonesia, oleh masyarakat dinilai positif, maka dalam hal ini berlaku kaidah ‘urf (tradisi masyarakat), yaitu al-‘aadah muhakkamah (tradisi masyarakat dapat dijadikan dasar hukum) sepanjang tidak bertentangan dengan dalil syara’.10

B. Pendapat Para Ulama Tentang Lotere atau Undian Berhadiah

Undian berhadiah sebenarnya bukanlah suatu perkara baru di dunia ini. Hanya saja dari masa ke masa bentuk dan tujuannya beraneka macam. Salah satu yang paling terkenal adalah yanasib atau lotere, yakni kegiatan pengumpulan uang dalam jumlah besar yang dilakukan oleh pemerintah, yayasan atau organisasi dari ribuan atau bahkan jutaan orang. Sebagian kecil dari uang terkumpul itu diberikan kembali kepada beberapa penyumbang dengan mengundi kupon-kupon yang telah dibeli oleh para penyumbang tersebut. Adapun sisanya dikuasai oleh penyelenggara dan digunakan untuk kepentingan umum.
Di Indonesia praktek tersebut pernah ada dengan berbagai nama, seperti Sumbangan Sosial Berhadiah (SSB), Tapornas, Porkas, Damura dan sebagainya. Umumnya undian semacam itu digunakan dengan dalih untuk memajukan bidang olah raga Indonesia seperti Tapornas, Porkas, dan Danura.
Pro dan kontra pun terjadi menanggapi permasalahan itu. Ada pihak yang menghalalkan, namun ada pula yang mengharamkannya.
Hendi Suhendi yang mengutip pendapat Ahmad Hasan mengatakan bahwa  mengadakan  lotere  dan  membeli  lotere adalah  terlarang,  sedangkan  menerima  dan  meminta  bagian  dari  uang  lotere adalah  perlu  atau  mesti  sebab  kalau  tidak  diambil  akan  digunakan  oleh  umat  lain  untuk  merusak  umat  Islam  atau  paling  tidak  memundurkannya.11
Sedangkan menurut Fuad  M.  Fachruddin  berpendapat  bahwa  lotere  tidak  termasuk  salah  satu  perbuatan  judi  (maisir)  yang  diharamkan  karena  illat  judi  atau  maisir  tidak  terdapat  dalam  lotere.  Kemudian  dikatakan  bahwa  pembeli  atau  pemasang  lotere  apabila  bermaksud  dan  bertujuan  hanya  menolong  dan  mengharapkan  hadiah,  maka  tidaklah  terdapat  dalam  perbuatan  itu  satu  perjudian.  Apabila  seseorang  bertujuan  semata-mata  ingin  memperoleh  hadiah,  menurut  Muhammad  Fachruddin  perbuatan  itu  pun  tidak  termasuk  perjudian  sebab  pada  perjudian  kedua  belah  pihak  berhadap-hadapan  dan  masing-masing  menghadapi  kemenangan  atau  kekalahan.
Pada  bagian  akhir  tentang  lotere  Fuad  M.  Fachruddin  menjelaskan   sbb:
1.    Mengeluarkan  lotere  oleh  suatu  perkumpulan  Islam  yang  berbakti  adalah  dibolehkan.
2.    Menjual  lotere  yang  dilakukan  oleh  perkumpulan  Islam  yang  berbakti  dibolehkan.
3.    Membeli  lotere  di  samping  mendapatkan  hadiah  yang  dibagi-bagikan  oleh  perkumpulan  itu  dibolehkan.
Itu  semuanya  dibolehkan  tanpa  adanya  keharaman-keharaman, sekalipun  maksud  pembeli  lotere  itu  untuk  mendapatkan  hadiah  semata-mata.12
Muktamar Majlis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo pada tanggal 27- 31 Juli 1969, seperti yang dikutip Masjfuk Zuhdi, memutuskan antara lain bahwa Lotre Totalisator (Lotto), Nasional Lotre (Nalo) dan sesamanya adalah termasuk perjudian, sehingga hukumnya haram. Adapun penjelasan yang dikemukakan adalah sebagai berikut.
1.    Lotto dan Nalo pada hakikat dan sifatnya sama dengan taruhan dan perjudian dengan unsur-unsur :
     a. Pihak yang menerima hadiah sebagai pemenang dan
b. Pihak yang tidak mendapat hadiah sebagai yang kalah.
2.    Oleh karena Lotto dan Nalo adalah salah satu jenis taruhan dan perjudian, maka berlaku nash sharih dalam QS Al-Baqarah ayat 219 dan QS Al-Maidah ayat 90– 91 sebagaimana telah penulis sebut dalam Bab I
3.    Muktamar mengakui bahwa hasil Lotto dan Nalo yang diambil oleh pihak penyelenggara mengandung manfaat bagi masyarakat sepanjang bagian hasil itu benar-benar dipergunakan bagi pembangunan.
4.    Bahwa mudharat dan akibat jelek yang ditimbulkan oleh tersebarluasnya taruhan dan perjudian dalam masyarakat jauh lebih besar daripada manfaat yang diperoleh dari penggunaan hasilnya.13

C. Pendapat Yusuf Qardhawi Tentang Undian Berhadiah

Dalam menyikapi permasalahan undian berhadiah, Yusuf Qardhawi membagi bentuk-bentuk hadiah menjadi tiga macam, yaitu: bentuk yang diperbolehkan syariat, bentuk yang diharamkan tanpa adanya perselisihan dan bentuk yang masih diperselisihkan.
1.    Bentuk yang Diperbolehkan Syariat
Bentuk hadiah yang diperbolehkan dan diterima oleh syara’ adalah hadiah-hadiah yang disediakan untuk memotivasi dan mengajak kepada peningkatan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan amal shaleh. Misalnya, hadiah yang disediakan bagi pemenang dalam perlombaan menghafal Al-Qur’an atau hadiah yang disiapkan bagi yang berprestasi dalam studi. Bisa juga sumbangan dalam bidang keislaman, keilmuan, sastra atau sejenisnya yang disediakan oleh pemerintah, yayasan dan individu. Semua itu diperbolehkan asalkan berfungsi untuk memotivasi dalam persaingan yang diperbolehkan syara’ dalam kebaikan.14
Dalam hadits riwayat Ahmad dari Ibnu Umar disebutkan bahwa Nabi Muhammad pernah melaksanakan perlombaan balap kuda. Kemudian Nabi memberikan hadiah kepada para pemenangnya. Nabi juga sering memberikan hadiah tertentu kepada para sahabat yang telah berhasil melakukan pelayanan untuk Islam seperti yang diriwayatkan Bukhari dari Urwah.15  Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. kepada salah seorang pemenang lomba.
عن انس رضى الله عنه وقد سئل : اآنتم ترا هنون على عهد
رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قال : نعم , لقد راهن على فرس
له يقا ل له سبحة, فسبق الناس فهش لذالك واعجبه(رواه احمد
Artinya : Dari Anas bin Malik r.a, ketika ia ditanya, ”Pernahkan kamu
   mengadakan lomba di masa Rasulullah dengan menyediakan
   hadiah/tanggungan?” Jawab Annas : ”Ya benar, Rasulullah SAW
   menyediakan kuda balapnya untuk hadiah, dan ketika ada salah seorang
   yang menang, maka beliau tersenyum merasa senang dan keheran
   heranan.” (HR Ahmad).16

Bentuk hadiah seperti ini adalah disediakan kepada orang-orang yang memenuhi syarat tertentu. Apabila ada orang yang telah memenuhi syarat sesuai dengan yang sudah ditentukan oleh sebuah panitia khusus, maka ia berhak mendapatkan hadiah tersebut. Hadiah seperti ini diperbolehkan dan tidak ada perdebatan mengenai hukumnya.17
2.    Bentuk yang Diharamkan Tanpa Adanya Perselisihan
Bentuk yang tidak diragukan keharamannya adalah jika orang yang membeli kupon dengan harga tertentu, banyak atau sedikit, tanpa ada gantinya melainkan hanya untuk ikut serta dalam memperoleh hadiah yang disediakan berupa mobil, emas, atau lainnya. Bahkan, hal seperti ini termasuk larangan serius (bagi yang melakukannya dianggap telah melakukan dosa besar). Karena termasuk perbuatan judi yang dirangkaikan dengan khamar seperti disebut dalam QS Al-Baqarah ayat 219 dan QS Al-Maa’idah ayat 90.18
Para ulama’ berkata, ”Perumpamaan orang yang memperoleh harta dari jalan haram, lalu menyedekahkannya ke jalan Allah bagaikan orang yang membersihkan najis dengan air kencing, maka hanya akan menambahnya lebih kotor.”
Dalam kitab ”Al-Halaal wal Haraam fil Islam” Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa orang-orang yang memperbolehkan untuk maksud ”tujuan kemanusiaan” tak ubahnya dengan orang-orang yang mengumpulkan dana untuk tujuan kemanusiaan dengan jalan mengadakan tarian haram dan seni haram. Untuk itu kepada mereka yang berbuat demikian menganggap bahwa seolah-olah masyarakat Islam telah kehilangan jiwa sosial perasaan kasih sayang, dan nilai-nilai kebijakan.
Sedangkan Allah itu Maha baik, sabagaimana hadis Nabi Saw.
ان الله طيب لايقبل الاطيبا.
“Sesungguhnya Allah itu baik, Ia (Allah) tidak mau menerima, kecuali yang baik.” (Riwayat Muslim dan Turmidzi)19
3.    Bentuk yang masih diperselisihkan
Bentuk undian yang masih diperselisihkan hukumnya adalah berupa kupon yang diberikan kepada seseorang sebagai ganti dari pembelian barang dari sebuah toko atau karena membeli bensin di sebuah pom bensin. Juga karena mengikuti pertandingan bola dengan membayar tiket masuk disertai dengan pemberian kupon.20

Referensi:

1 Safiudin Shidik, Hukum Islam Tentang Berbagai Persoalan Kontemporer, Jakarta : PT
Intimedia Cipta Nusantara, Cet. ke-1, 2004, hlm. 379.
2 Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
Cet. ke-1, 1996, Jilid 6, hlm. 1869.
3 Saifudin Shidik, op. cit., hlm. 379-380.
4 Abdul Aziz Dahlan, et. al., op. cit., hlm. 1869.
5 Ibid
6 Pada zaman jahiliah orang-orang Arab menggunakan anak panah yang belum pakai bulu (lot) untuk menentukan suatu perbuatan, caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah itu masing-masing ditulis dengan: “lakukan”, jangan lakukan”, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat yang disimpan dalam ka’bah. Bila meraka hendak melakukan sesuatu perbuatan maka mereka meminta juru kunci untuk mengambil sebuah anak panah itu. Terserah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan tergantung apa yang diambil dari anak panah yang diambil itu. Kalau yang diambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulangi sekali lagi. Lihat Al Qur’an dan terjemahnya(Ayat Pojok Bergaris), Semarang: CV Asy-Syifa’, 1998, hlm.512
7 Ibid., hlm. 1869-1870.
8 Ibid., hlm. 1870.
9 Ibid., hlm. 1871.
10 Ibid.
11 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. ke-6, 2010,hlm.321-322
12 Fuad Moh. Fachruddin, Riba dalam Bank Koperasi Perseroan dan Asuransi, Bandung PT al-Ma’arif 1982. Aibak, hlm.40-43.
13Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah; Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta : CV Haji
Masagung, Cet. ke-1, 1990, hlm. 138-139.
14 Yusuf Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah, Jilid 3 , Terj. Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk. “Fatwa-fatwa Kontemporer”, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2001,
hlm.499.
15 Ibid.
16 Mustofa Dibul Bigha , At-Tadzhib fii Adillah Matan Al-Ghaayah wa At-Taqriib, Terj.
Moh. Rifa’i dan Baghawi Mas’udi “Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i”, Semarang : Cahaya Indah,
1988, hlm. 377 .
17 Yusuf Qardhawi, op. cit., hlm. 500.
18 Ibid.
19 Yusuf Al-Qardhawi, Al-Halaal wal Haraam fil Islaam, Terj. Mu’ammal Hamidy, “Halal Dan Haram Dalam Islam”, Surabaya : Bina Ilmu, 2000, hlm.424.
20 Yusuf Al-Qardhawi, Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah, Jilid 3, Terj. Abdul Hayyie
Al-Kattani “Fatwa-fatwa Kontemporer ”, Ioc. cit.

Disusun oleh : Sulaiman

Ditulis Oleh : Unknown ~Materi Pendidikan

seocips.com Anda sedang membaca artikel berjudul Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Undian Berhadiah yang ditulis oleh Materi Pendidikan yang berisi tentang : yang suka dengan artikel tersebut silahkan Download dan klik share...

Blog, Updated at: 17.50

0 komentar:

Posting Komentar