BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia mempunyai 2 (dua) fungsi; individu dan sosial. Dalam fungsinya sebagai makhluk individu, manusia mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, misalnya pendidikan, kesehatan, kebahagiaan dan
sebagainya. Di sisi lain, manusia juga harus memerankan fungsinya sebagai makhluk sosial yang hidup dan berinteraksi dengan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ini, manusia akan menjalani proses alam untuk berkembang. Dalam proses berkembang ini, tentu saja masyarakat memerlukan suatu pedoman yang mengatur lajur dinamika yang ada. Sehingga aktifitas manusia akan menjadi teratur sesuai dengan aturan yang ada.
Bisa dibayangkan kalau kehidupan bermasyarakat tidak ada aturan. Problem akan datang silih berganti. Ini sudah menjadi sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri.
Allah Swt telah memuliakan manusia dengan akal dan nurani. Ia sebagai pengontrol utama atas semua yang berlaku dalam aktifitas manusia. Namun, dalam prakteknya, posisi dan peran akal –sebagai pengontrol perilaku positif ini- seringkali terkalahkan oleh nafsu dan kehendak syaitan. Maka tidak mengherankan ketika kemaksiatan terjadi dimana-mana. Kemaksiatan yang terjadi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh pertentangan yang luar biasa antara akal dan nafsu. Ketika akal dominan, maka perilaku positif yang akan terjadi. Sebaliknya, jika nafsu mendominasi akal, kemaksiatan akan merajalela. Oleh karenanya, manusia perlu mendapatkan blue print aturan yang bisa mengatur dan mengendalikan kemaksiatan yang timbul. Sehingga peran akal bisa dioptimalkan.
Ketika manusia hidup di dunia, maka di sana ia akan dihadapkan kepada beragam problematika dan tuntutan hidup. Banyak keinginan dan kesenangan yang diinginkan. Juga, aktifitas menerjang syariat –seiring dengan tuntutan yang ada- bukanlah perkara yang mustahil. Ia hidup di tengah masyarakat, ia bergumul dengan beragam tuntutan hidup, dan ia juga mempunyai hak dan kewajiban. Di sinilah seringkali manusia tertuntut untuk mencapai taraf dan keadaan yang ideal. Terutama dalam kehidupan masyarakat, akan sangat mungkin terjadi benturan (clash) antara individu satu dengan lainnya. Tuntutan dan keinginan seseorang kadangkala tidak singkron dengan keadaan dan lingkungan. Apalagi, pada zaman global seperti sekarang ini, persaingan yang terjadi dalam tataran praksis sangatlah ketat. Siapa yang cepat dan tanggap membaca peluang, maka ia akan mendapatkannya. Dan implikasinya dalam kehidupan, yang kuat seringkali menindas yang lemah, kesenjangan antara si kaya dan si miskin menjadi sangat kentara dan sebagainya.
B. Rumusan masalah
Dari uraian di atas dapat diambil suatu permasalahan terkait masalah manusia dan kebutuhan hidup dalam kaidah social dan kaidah agama diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Hubungan interaksi Manusia dalam Kaidah Sosial dan Kaidah Agama terhadap Kehidupan Bermasyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Manusia Dan Kebutuhan Hidup
Sejak awal sejarah pembentukan umat manusia dalam konteks interaksi dalam masyarakat persoalan kaidah atau norma merupakan jelmaan yang dibutuhkan dalam upaya mencapai harmonisasi kehidupan. Secara empirik sosiologis kaidah atau norma adalah tuntunan atau kunci dalam mencapai stabilisasi interaksi sehingga pelanggaran akan kaidah atau norma akan dijatuhi bersifat hukuman atau sanksi sosial.
Kaidah agama maupun kaidah hukum yang bersumber pula dari kaidah sosial merupakan payung kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat yang tidak beradab adalah masyarakat yang tidak mempunyai kaidah agama maupun kaidah sosial, atau masyarakat yang mengingkari atau menyimpang dari kedua kaidah tersebut. Dalam sejarah kehidupan manusia hal ini telah banyak dibuktikan.
Interaksi kehidupan manusia dalam masyarakat dalam sepanjang perjalanan hidup tidak ada yang berjalan lurus, mulus dan aman-amam saja. Sepanjang kehidupan manusia, yang namanya persengketaan, kejahatan, ketidakadilan, diskriminasi, kesenjangan sosial, konflik SARA dan sebagainya adalah warna-warni dari realitas yang dihadapi. Persoalan-persoalan tersebut semakin berkembang dalam modifikasi lain akibat pengaruh teknologi globalisasi akan semakin canggih setua usia bumi.
Kesepakakatan atau kontrak sosial dari masyarakat kemudian dikukuhkan dalam bentuk kepastian hukum berupa ketentuan tertulis. Prosesi pengangkatan kesepakatan dalam kaidah tidak tertulis ke tertulis adalah proses pemuatan konsep normatif dalam kaidah hukum secara resmi. Legalitas ini akan didukung oleh lembaga perwakilan dari masyarakat.
Penambahan ketentuan tertulis ini dalam masyarakat mempunyai arti penting agar sinkronisasi yang sudah tercipta selama ini merupakan unsur penting dalam menjaga dan memelihara harmonisasi kehidupan manusia. Sehingga sistem sosial yang selama ini berjalan dapat harmonis dengan kehadiran hukum positif.
Keberadaan hukum positif dalam masyarakat pada akhirnya akan mengukuhkan komponen-komponen lain secara yuridis yang membentuk satu kesatuan dalam suatu sistem hukum Lawrence M.Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System.A Social Science Perspective, 1975 ; menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (peraturan perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum di suatu negara.
Hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hukum akan selalau selaras dengan kehidupan masyarakat. Hukum tidak akan menjauh dari masyarakat, dan jika hal itu dilakukan maka hukum akan seperti benda asing, sesuatu yang berada di menara emas, tidak berpijak ke bumi, dan hal itu yang tidak diiginkan oleh hukum itu sendiri, baik secara yuridis, sosiologis maupun filosofis.
Pengaturan yang bersifat tertulis merupakan dokumen sah menurut hukum modern. Dalam konteks ini maka semua pihak yang terlibat dalam apa-apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan harus tunduk dan taat asas pada apa-apa yang telah diaturnya. Dengan kondisi ini maka pihak-pihak yang akan mengurus sesuatu, bersengketa dan mengupayakan hukum ke tingkat yang lebih atas akan mengikuti pola aturan yang sudah ditetapkan. Setelah pengaturan dibuat maka terkenallah adagium : semua orang dianggap tahu hukum.
Secara sosiologis, persoalan penegakan hukum, law enforcement adalah persoalan yang kompleks jika ingin ditegakkan. Maka kemudian kita akan membincangkannya dalam koridor pertanyaan-pertanyaan seputar program sosialisasi, implementasi atau aplikasi, perangkat pendukung (perangkat lunak maupun keras), koordinasi serta faktor pendukung agar pengaturan itu berhasil dalam masyarakat, dan semua mematuhinya.
Di masa modern sekarang agama adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa lupakan, bahkan tidak sesaat-pun manusia mampu meninggalkan agamanya, yang mana agama adalah pandangan hidup dan praktik penuntun hidup dan kehidupan, sejak lahir sampai mati, bahkan sejak mulai tidur sampai kembali tidur agama selalu akan memberikan bimbingan, demi menuju hidup sejahtera dunia dan akhirat.
Seiring dengan berkembangnya zaman, saat ini umat Islam telah tersebar di berbagai belahan dunia. Tentu saja, hal ini akan memberikan pengaruh besar secara langsung kepada kondisi sosial kemasyarakatan. Misalnya, dinamika negara-negara di belahan Asia, berbeda dengan negara-negara Arab Eropa.
Keadaan ini selanjutnya akan memberikan pengaruh kepada masing-masing individu (muslim) dalam mengejawantahkan nilai-nilai keislaman. Bagi mukallaf yang berdomisili di negara dengan muslim sebagai kaum mayoritas, pengaplikasian nilai-nilai keislaman tidaklah menjadi masalah. Lain halnya dengan mereka yang hidup di negara di mana muslim sebagai kaum minoritas.
Keberadaan syariat Islam adalah sebagai undang-undang global yang mengatur kehidupan manusia. Syariat bersifat mengikat dan feleksibel. Dengan kata lain bahwa aturan yang telah ditetapkan syara' harus dijalankan secara baik sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada.
Hal ini tentu saja sangat beralasan karena syara' sangat memperhatikan kondisi masing-masing individu. Kalau diibaratkan dengan dokter, resep yang diberikan dokter, tentu saja disesuaikan dengan kondisi fisik masing-masing pasien sesuai dosisnya. Setelah didiagnosa, maka akan diketahui bagaimana kondisi pasien bagaimana dan jenis obat apa yang layak diberikan.
Jika kita menelaah lebih dalam tentang syariat Islam, maka nilai universal yang diusung adalah keadilan. Dengan kata lain bahwa syara telah memberikan beragam alternatif kepada mukallaf untuk menjawab pelbagai fenomena hidup. Ketika mukallaf dihadapkan kepada sebuah dilema, maka syara pun telah menawarkan beragama alternatif untuk menjawabnya. Intinya, syariat merupakan solver ampuh yang akan selalu relevan sampai kapanpun, dimanapun dan dan dalam kondisi apapun.
Dalam konteks keindonesiaan misalnya, masyarakat Indonesia sejak dulu menganut 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) yang diperoleh dari ajaran para ulama yang alim di bidangnya. Al-Quran dan al-Hadits merupakan 2 (dua) referensi utama dalam syariat Islam. Teks yang ada memang sangat global. Namun, madzhab 4 (empat) telah melakukan elaborasi dan ijtihad yang kemudian dituangkan dalam bentuk disiplin Ilmu Fikih, Hadits, Tafsir dan sebagainya. 4 (empat) madzhab ini dianggap efektif dalam memberikan petunjuk beragama bagi masyarakat Indonesia. Negara Indonesia merupakan negara republik. Kondisi sosial-kemasyarakatannya pun sangat berbeda dengan kondisi negara-negara Arab secara umum. Begitu kompleks
Sejak dilahirkan maka, manusia hidup dalam satu lingkungan tertentu yang menjadi wadah bagi kehidupannya. Lingkungan tersebut merupakan keseluruhan daripada kondisi maupun benda yang ditempati manusia dan mempengaruhi seluruh kehidupan manusia. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa lingkungan tersebut merupakan segala sesatu yang ada disekeliling manusia, baik yang bersifat materiil maupun non materiil dan juga yang hidup atau tidak hidup. Semua hal-hal tersebut mempengaruhi kehidupan manusia dan dipengaruhi oleh manusia. Proses hubungan timbal balik yang saling pengaruh mempengaruhi tersebut membentuk suatu sistem yang biasanya dinamakan ekosistem.
Masalah sosial akan dapat muncul ketika kenyataan yang ada tidak dapat dipahami oleh pengetahuan kebudayaan yang dipunyai oleh para individunya atau dipahami secara berbeda antara masing – masing individu yang terlibat di dalam interaksi sosial yang ada. Individu – individu yang terlibat di dalam interaksi yang berusaha untuk memahami kenyataan yang ada tersebut, pada dasarnya adalah untuk usaha pemenuhan kebutuhan dirinya agar dapat hidup secara berkesinambungan
Kesamaan pandangan dan pemahaman terhadap dunia sekitar manusia hidup menjadi patokan bagi kesinambungan kehidupan manusia itu sendiri, artinya bahwa ketidaksamaan dalam pemahaman tentunya terkait dengan kemampuan atau kekuatan dari pedoman yang mengatur kelompok sosial yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian, kemampuan kebudayaan dari manusia yang digunakan untuk pedoman berinteraksi harus dipahami dan diwujudkan melalui pranata sosial yang tersedia di dalam masyarakat
pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. Oleh karena itu, ada tiga kata kunci di dalam setiap pembahasan mengenai pranata sosial yaitu:
1. Nilai dan norma
2. Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum
3. Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.
Menurut Koentjaraningrat (1979) yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Pranata sosial pada hakikatnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat empirik, karena sesuatu yang empirik unsur-unsur yang terdapat di dalamnya selalu dapat dilihat dan diamati. artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir. Unsur-unsur dalam pranata sosial bukanlah individu-individu manusianya itu, akan tetapi kedudukan-kedudukan yang ditempati oleh para individu itu beserta aturan tingkah lakunya.
Dengan demikian pranata sosial merupakan bangunan atau konstruksi dari seperangkat peranan-peranan dan aturan-aturan tingkah laku yang terorganisir. Aturan tingkah laku tersebut dalam kajian sosiologi sering disebut dengan istilah “norma-norma sosial”.
Diciptakan pranata sosial pada dasarnya mempunyai maksud serta tujuan yang secara prinsipil tidak berbeda dengan norma-norma sosial, karena pranata sosial sebenarnya memang produk dari norma sosial. Secara umum, tujuan utama diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
Menurut Soerjana Soekanto (1970), pranata sosial di dalam masyarakat harus dilaksanakan dengan fungsi-fungsi berikut:
• Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
• Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat.
• Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial (social control).
Dalam kehidupan masyarakat banyak ditemui pranata sosial, sehingga sering tidak mudah untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, untuk pemahaman lebih lanjut perlu kiranya mengenali karakteristik umum dari pranata sosial yang dikemukakan oleh Gillin and Gillin, sebagai berikut: (Soemardjan dan Soemardi, 1964:67-70)
• Pranata sosial terdiri dari seperangkat organisasi daripada pemikiran-pemikiran dan pola-pola perikelakuan yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan. Karakteristik ini menegaskan kembali bahwa pranata sosial terdiri dari sekumpulan norma-norma sosial dan peranan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
• Pranata sosial itu relatif mempunyai tingkat kekekalan tertentu. Artinya, pranata sosial itu pada umumnya mempunyai daya tahan tertentu yang tidak lekas lenyap dalam kehidupan bermasyarakat.
• Pranata sosial itu mempunyai tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan. Tujuan dasarnya adalah merupakan pedoman serta arah yang ingin dicapai. Oleh karena itu, tujuan akan motivasi ataupun mendorong manusia untuk mengusahakan serta bertindak agar tujuan itu dapat terwujud. Dengan tujuan inilah maka merangsang pranata sosial untuk dapat melakukan fungsinya.
• Pranata sosial merupakan alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuannya. Alat-alat perlengkapan pranata sosial dimaksudkan agar pranata yang bersangkutan dapat melaksanakan fungsinya guna mencapai tujuan yang diinginkan.
• Pranata sosial itu mempunyai dokumen, baik yang tertulis maupun tidak. Dokumen ini dimaksudkan menjadi suatu landasan atau pangkal tolak untuk mencapai tujuan serta melaksanakan fungsinya.
Dengan mendasarkan diri pada tingkat kompleksitas penyebarannya, maka pranata sosial dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu:
• General social institutions Sesuai dengan namanya, maka pranata sosial ini dapat dikatakan hampir terdapat di setiap bentuk masyarakat, sehingga bersifat universal. Dari kenyataan yang demikian membuktikan bahwa pranata sosial mempunyai nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat terutama untuk kelangsungan hidupnya. Pranata sosial jenis ini dapat dikatakan netral, umum, atau tidak memihak terhadap komponen atau unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Agama merupakan salah satu contoh dari pranata sosial yang bersifat universal atau umum yang menghimpun dari berbagai macam agama tertentu, tanpa memihak terhadap salah satu agama tertentu tersebut
• Restricted social institutions Pranata sosial ini pada umumnya mempunyai corak yang khas atau khusus dalam kehidupan masyarakat. Kenyataan ini dipengaruhi oleh kaidah-kaidah serta peranan-peranan yang terdapat di dalam pranata itu mempunyai kekhususan. Karena sifat yang demikian, maka pola penyebarannya relatif lebih terbatas dibandingkan dengan pranata yang umum. Hal ini juga disebabkan oleh relatif lebih kecilnya kepentingan serta terbaginya minat warga ke dalam pranata lain yang bersifat khusus.
• Orientasi nilainya
1. Seperangkat kaidah sosial yang terkandung di dalam setiap pranata sosial mempunyai arti penting atau nilai di dalam kehidupan masyarakat. Namun, mengingat kaidah sosial itu pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tingkatan yang bersifat hierarkis, maka nilai-nilai dari kaidah tersebut juga dapat dikelompokkan ke dalam kategori pokok dan kurang pokok.
Subsidiary social institutions Pranata sosial sekunder didukung oleh kaidah sosial yang nilai-nilainya dianggap kurang penting untuk menunjang kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, jika di dalam kehidupan masyarakat tidak menggunakan pranata sekunder tidaklah mempengaruhi kelangsungan hidupnya. Sehingga penggunaan pranata ini hanya merupakan tambahan untuk memperoleh kenikmatan dalam hidup.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat ditarik dalam sebuah kesimpulan sebagai berikut :
1. Pranata Sosial merupakan sistim hubungan sosial yang terorganisir yang mengerjawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat.
2. Tujuan utama diciptakannya pranata sosial, adalah untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai sekaligus untuk mengatur agar kehidupan warga masyarakat berjalan dengan tertib dan lancar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
3. Pranata sosial pada umumnya mempunyai daya tahan tertentu yang tidak lekas lenyap dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Pranata sosial merupakan alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuannya.
5. Pranata sosial mempunyai dokumen, baik tertulis maupun tidak yang menjadi suatu landasan atau pangkal tolak untuk mencapai tujuan serta melaksanakan fungsinya
6. Pranata sosial dalam kehidupan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor,sehingga kemampuan nilai-nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia itu yang turut menentukan luas sempitnya penyebarannya. Bagaimana persepsi dan kepentingan masyarakat terhadap nilai dan peranan yang dimiliki oleh pranata sosial, sehingga ada tangapan yang baik tentang kepentingan yang kuat serta memberikan peluang ntuk dapat diterima secara menyebar luas di masyarakat.
7. Unsur-unsur dalam pranata sosial bukanlah individu-individu manusianya itu, akan tetapi kedudukan-kedudukan yang ditempati oleh para individu itu beserta aturan tingkah lakunya.
DAFTAR PUSTAKA
Narwoko Dwi.I, Suryanto Bagong. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media
O, Richard dan Van Loon, Borin. 1996. Sosiology for Beginners. Icon Book Ltd: Cambridge: Inggris (Terjemahan)
Soekanto Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Soekanto Soerjono. 1984. Teori Sosiologi. Jakarta Timur:Ghalia Indonesia
Sutanto, Phil Astrid S. 1978. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta.
ANALISIS
Dari makalah di atas dapat dianalisis sesuai dengan kaidah keprofesian hukum, bahwasanya Dalam hubungan hidup bermasyarakat, setiap manusia berpegang pada kaidah moral sebagai acuan perilakunya. Kaidah moral ini kemudian dijelmakan ke dalam kaidah sosial yang menjadi cermin setiap perbuatan hidup bermasyarakat, yang disebut hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan ini dihargai dan dipatuhi secara sadar oleh setiap anggota masyarakat. Tujuan hidup bermasyarakat ialah terpeliharanya ketertiban, kestabilan dan kebahagiaan berdasarkan hukum kebiasaaan.
Profesional hukum yang bermutu adalah profesional yang menguasai hokum Indonesia, mampu menganalisis masalah hukum dalam masyarakat, mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah konkret dengan bijaksana tetap berdasarkan prinsip-prinsip hukum, menguasai dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum, mengenal dan peka akan masalah keadilan dan masalah sosial. Setiap profesional hukum harus memiliki nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional hukum. Lima kriteria nilai moral yang kuat, yaitu kejujuran, keaslian, bertanggung jawab, kemandirian dan keberanian.
Notohamidjojo menyatakan dalam melaksanakan kewajibannya profesional hukum perlu memiliki:
1. Sikap manusiawi artinya tidak menanggapi hukum secara formal belaka, melainkan kebenaran yang sesuai dengan hati nurani;
2. Sikap adil artinya mencari kelayakan yang sesuai dengan perasaan masyarakat;
3. Sikap patut artinya mencari pertimbangan untuk menentukan keadilan dalam suatu perkara konkret;
4. Sikap jujur artinya menyatakan sesuatu itu benar menurut apa adanya dan menjauhi yang tidak benar dan tidak patut.
Kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu berbuat menyimpang dari kode etiknya, maka kelompok profesi itu akan tercemar di mata masyarakat.
Namun manusia dalam menjalani kehidupannya tidak lepas dari kecenderungan menyimpang atau menyelewengkan. Profesional hukum yang tidak bertanggung jawab melakukan pelanggaran dalam menjalankan profesinya karena lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongannya.
Dengan berpedoman pada norma hukum, masyarakat berharap banyak kepada profesional hukum agar masyarakat dapat dilindungi oleh hukum, hidup tertib, teratur dan bahagia. Sumaryono menyebutkan 5 (lima) masalah yang dihadapi profesi hukum sebagai kendala yang cukup serius, yaitu:
1. Kualitas pengetahuan profesional hukum;
2. Terjadinya penyalahgunaan profesi hukum;
3. Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis;
4. Penurunan kesadaran dan kepedulian sosial;
5. Kontinuasi sistem yang sudah usang.
Kode etik profesi semata-mata berdasarkan kesadaran moral, tidak mempunyai sanksi keras, sehingga pelanggar kode etik tidak merasakan akibat perbuatannya. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran serius terhadap kode etik profesi dapat ditempuh cara penundukan pada Undang-Undang, sehingga pelanggar kode etik akan diancam dengan sanksi seperti pelanggar Undang- Undang.
Penulis :Ahmad Mansur
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia mempunyai 2 (dua) fungsi; individu dan sosial. Dalam fungsinya sebagai makhluk individu, manusia mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, misalnya pendidikan, kesehatan, kebahagiaan dan
sebagainya. Di sisi lain, manusia juga harus memerankan fungsinya sebagai makhluk sosial yang hidup dan berinteraksi dengan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ini, manusia akan menjalani proses alam untuk berkembang. Dalam proses berkembang ini, tentu saja masyarakat memerlukan suatu pedoman yang mengatur lajur dinamika yang ada. Sehingga aktifitas manusia akan menjadi teratur sesuai dengan aturan yang ada.
Bisa dibayangkan kalau kehidupan bermasyarakat tidak ada aturan. Problem akan datang silih berganti. Ini sudah menjadi sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri.
Allah Swt telah memuliakan manusia dengan akal dan nurani. Ia sebagai pengontrol utama atas semua yang berlaku dalam aktifitas manusia. Namun, dalam prakteknya, posisi dan peran akal –sebagai pengontrol perilaku positif ini- seringkali terkalahkan oleh nafsu dan kehendak syaitan. Maka tidak mengherankan ketika kemaksiatan terjadi dimana-mana. Kemaksiatan yang terjadi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh pertentangan yang luar biasa antara akal dan nafsu. Ketika akal dominan, maka perilaku positif yang akan terjadi. Sebaliknya, jika nafsu mendominasi akal, kemaksiatan akan merajalela. Oleh karenanya, manusia perlu mendapatkan blue print aturan yang bisa mengatur dan mengendalikan kemaksiatan yang timbul. Sehingga peran akal bisa dioptimalkan.
Ketika manusia hidup di dunia, maka di sana ia akan dihadapkan kepada beragam problematika dan tuntutan hidup. Banyak keinginan dan kesenangan yang diinginkan. Juga, aktifitas menerjang syariat –seiring dengan tuntutan yang ada- bukanlah perkara yang mustahil. Ia hidup di tengah masyarakat, ia bergumul dengan beragam tuntutan hidup, dan ia juga mempunyai hak dan kewajiban. Di sinilah seringkali manusia tertuntut untuk mencapai taraf dan keadaan yang ideal. Terutama dalam kehidupan masyarakat, akan sangat mungkin terjadi benturan (clash) antara individu satu dengan lainnya. Tuntutan dan keinginan seseorang kadangkala tidak singkron dengan keadaan dan lingkungan. Apalagi, pada zaman global seperti sekarang ini, persaingan yang terjadi dalam tataran praksis sangatlah ketat. Siapa yang cepat dan tanggap membaca peluang, maka ia akan mendapatkannya. Dan implikasinya dalam kehidupan, yang kuat seringkali menindas yang lemah, kesenjangan antara si kaya dan si miskin menjadi sangat kentara dan sebagainya.
B. Rumusan masalah
Dari uraian di atas dapat diambil suatu permasalahan terkait masalah manusia dan kebutuhan hidup dalam kaidah social dan kaidah agama diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Hubungan interaksi Manusia dalam Kaidah Sosial dan Kaidah Agama terhadap Kehidupan Bermasyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Manusia Dan Kebutuhan Hidup
Sejak awal sejarah pembentukan umat manusia dalam konteks interaksi dalam masyarakat persoalan kaidah atau norma merupakan jelmaan yang dibutuhkan dalam upaya mencapai harmonisasi kehidupan. Secara empirik sosiologis kaidah atau norma adalah tuntunan atau kunci dalam mencapai stabilisasi interaksi sehingga pelanggaran akan kaidah atau norma akan dijatuhi bersifat hukuman atau sanksi sosial.
Kaidah agama maupun kaidah hukum yang bersumber pula dari kaidah sosial merupakan payung kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat yang tidak beradab adalah masyarakat yang tidak mempunyai kaidah agama maupun kaidah sosial, atau masyarakat yang mengingkari atau menyimpang dari kedua kaidah tersebut. Dalam sejarah kehidupan manusia hal ini telah banyak dibuktikan.
Interaksi kehidupan manusia dalam masyarakat dalam sepanjang perjalanan hidup tidak ada yang berjalan lurus, mulus dan aman-amam saja. Sepanjang kehidupan manusia, yang namanya persengketaan, kejahatan, ketidakadilan, diskriminasi, kesenjangan sosial, konflik SARA dan sebagainya adalah warna-warni dari realitas yang dihadapi. Persoalan-persoalan tersebut semakin berkembang dalam modifikasi lain akibat pengaruh teknologi globalisasi akan semakin canggih setua usia bumi.
Kesepakakatan atau kontrak sosial dari masyarakat kemudian dikukuhkan dalam bentuk kepastian hukum berupa ketentuan tertulis. Prosesi pengangkatan kesepakatan dalam kaidah tidak tertulis ke tertulis adalah proses pemuatan konsep normatif dalam kaidah hukum secara resmi. Legalitas ini akan didukung oleh lembaga perwakilan dari masyarakat.
Penambahan ketentuan tertulis ini dalam masyarakat mempunyai arti penting agar sinkronisasi yang sudah tercipta selama ini merupakan unsur penting dalam menjaga dan memelihara harmonisasi kehidupan manusia. Sehingga sistem sosial yang selama ini berjalan dapat harmonis dengan kehadiran hukum positif.
Keberadaan hukum positif dalam masyarakat pada akhirnya akan mengukuhkan komponen-komponen lain secara yuridis yang membentuk satu kesatuan dalam suatu sistem hukum Lawrence M.Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System.A Social Science Perspective, 1975 ; menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (peraturan perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum di suatu negara.
Hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hukum akan selalau selaras dengan kehidupan masyarakat. Hukum tidak akan menjauh dari masyarakat, dan jika hal itu dilakukan maka hukum akan seperti benda asing, sesuatu yang berada di menara emas, tidak berpijak ke bumi, dan hal itu yang tidak diiginkan oleh hukum itu sendiri, baik secara yuridis, sosiologis maupun filosofis.
Pengaturan yang bersifat tertulis merupakan dokumen sah menurut hukum modern. Dalam konteks ini maka semua pihak yang terlibat dalam apa-apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan harus tunduk dan taat asas pada apa-apa yang telah diaturnya. Dengan kondisi ini maka pihak-pihak yang akan mengurus sesuatu, bersengketa dan mengupayakan hukum ke tingkat yang lebih atas akan mengikuti pola aturan yang sudah ditetapkan. Setelah pengaturan dibuat maka terkenallah adagium : semua orang dianggap tahu hukum.
Secara sosiologis, persoalan penegakan hukum, law enforcement adalah persoalan yang kompleks jika ingin ditegakkan. Maka kemudian kita akan membincangkannya dalam koridor pertanyaan-pertanyaan seputar program sosialisasi, implementasi atau aplikasi, perangkat pendukung (perangkat lunak maupun keras), koordinasi serta faktor pendukung agar pengaturan itu berhasil dalam masyarakat, dan semua mematuhinya.
Di masa modern sekarang agama adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa lupakan, bahkan tidak sesaat-pun manusia mampu meninggalkan agamanya, yang mana agama adalah pandangan hidup dan praktik penuntun hidup dan kehidupan, sejak lahir sampai mati, bahkan sejak mulai tidur sampai kembali tidur agama selalu akan memberikan bimbingan, demi menuju hidup sejahtera dunia dan akhirat.
Seiring dengan berkembangnya zaman, saat ini umat Islam telah tersebar di berbagai belahan dunia. Tentu saja, hal ini akan memberikan pengaruh besar secara langsung kepada kondisi sosial kemasyarakatan. Misalnya, dinamika negara-negara di belahan Asia, berbeda dengan negara-negara Arab Eropa.
Keadaan ini selanjutnya akan memberikan pengaruh kepada masing-masing individu (muslim) dalam mengejawantahkan nilai-nilai keislaman. Bagi mukallaf yang berdomisili di negara dengan muslim sebagai kaum mayoritas, pengaplikasian nilai-nilai keislaman tidaklah menjadi masalah. Lain halnya dengan mereka yang hidup di negara di mana muslim sebagai kaum minoritas.
Keberadaan syariat Islam adalah sebagai undang-undang global yang mengatur kehidupan manusia. Syariat bersifat mengikat dan feleksibel. Dengan kata lain bahwa aturan yang telah ditetapkan syara' harus dijalankan secara baik sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada.
Hal ini tentu saja sangat beralasan karena syara' sangat memperhatikan kondisi masing-masing individu. Kalau diibaratkan dengan dokter, resep yang diberikan dokter, tentu saja disesuaikan dengan kondisi fisik masing-masing pasien sesuai dosisnya. Setelah didiagnosa, maka akan diketahui bagaimana kondisi pasien bagaimana dan jenis obat apa yang layak diberikan.
Jika kita menelaah lebih dalam tentang syariat Islam, maka nilai universal yang diusung adalah keadilan. Dengan kata lain bahwa syara telah memberikan beragam alternatif kepada mukallaf untuk menjawab pelbagai fenomena hidup. Ketika mukallaf dihadapkan kepada sebuah dilema, maka syara pun telah menawarkan beragama alternatif untuk menjawabnya. Intinya, syariat merupakan solver ampuh yang akan selalu relevan sampai kapanpun, dimanapun dan dan dalam kondisi apapun.
Dalam konteks keindonesiaan misalnya, masyarakat Indonesia sejak dulu menganut 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) yang diperoleh dari ajaran para ulama yang alim di bidangnya. Al-Quran dan al-Hadits merupakan 2 (dua) referensi utama dalam syariat Islam. Teks yang ada memang sangat global. Namun, madzhab 4 (empat) telah melakukan elaborasi dan ijtihad yang kemudian dituangkan dalam bentuk disiplin Ilmu Fikih, Hadits, Tafsir dan sebagainya. 4 (empat) madzhab ini dianggap efektif dalam memberikan petunjuk beragama bagi masyarakat Indonesia. Negara Indonesia merupakan negara republik. Kondisi sosial-kemasyarakatannya pun sangat berbeda dengan kondisi negara-negara Arab secara umum. Begitu kompleks
Sejak dilahirkan maka, manusia hidup dalam satu lingkungan tertentu yang menjadi wadah bagi kehidupannya. Lingkungan tersebut merupakan keseluruhan daripada kondisi maupun benda yang ditempati manusia dan mempengaruhi seluruh kehidupan manusia. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa lingkungan tersebut merupakan segala sesatu yang ada disekeliling manusia, baik yang bersifat materiil maupun non materiil dan juga yang hidup atau tidak hidup. Semua hal-hal tersebut mempengaruhi kehidupan manusia dan dipengaruhi oleh manusia. Proses hubungan timbal balik yang saling pengaruh mempengaruhi tersebut membentuk suatu sistem yang biasanya dinamakan ekosistem.
Masalah sosial akan dapat muncul ketika kenyataan yang ada tidak dapat dipahami oleh pengetahuan kebudayaan yang dipunyai oleh para individunya atau dipahami secara berbeda antara masing – masing individu yang terlibat di dalam interaksi sosial yang ada. Individu – individu yang terlibat di dalam interaksi yang berusaha untuk memahami kenyataan yang ada tersebut, pada dasarnya adalah untuk usaha pemenuhan kebutuhan dirinya agar dapat hidup secara berkesinambungan
Kesamaan pandangan dan pemahaman terhadap dunia sekitar manusia hidup menjadi patokan bagi kesinambungan kehidupan manusia itu sendiri, artinya bahwa ketidaksamaan dalam pemahaman tentunya terkait dengan kemampuan atau kekuatan dari pedoman yang mengatur kelompok sosial yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian, kemampuan kebudayaan dari manusia yang digunakan untuk pedoman berinteraksi harus dipahami dan diwujudkan melalui pranata sosial yang tersedia di dalam masyarakat
pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. Oleh karena itu, ada tiga kata kunci di dalam setiap pembahasan mengenai pranata sosial yaitu:
1. Nilai dan norma
2. Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum
3. Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.
Menurut Koentjaraningrat (1979) yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Pranata sosial pada hakikatnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat empirik, karena sesuatu yang empirik unsur-unsur yang terdapat di dalamnya selalu dapat dilihat dan diamati. artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir. Unsur-unsur dalam pranata sosial bukanlah individu-individu manusianya itu, akan tetapi kedudukan-kedudukan yang ditempati oleh para individu itu beserta aturan tingkah lakunya.
Dengan demikian pranata sosial merupakan bangunan atau konstruksi dari seperangkat peranan-peranan dan aturan-aturan tingkah laku yang terorganisir. Aturan tingkah laku tersebut dalam kajian sosiologi sering disebut dengan istilah “norma-norma sosial”.
Diciptakan pranata sosial pada dasarnya mempunyai maksud serta tujuan yang secara prinsipil tidak berbeda dengan norma-norma sosial, karena pranata sosial sebenarnya memang produk dari norma sosial. Secara umum, tujuan utama diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
Menurut Soerjana Soekanto (1970), pranata sosial di dalam masyarakat harus dilaksanakan dengan fungsi-fungsi berikut:
• Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
• Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat.
• Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial (social control).
Dalam kehidupan masyarakat banyak ditemui pranata sosial, sehingga sering tidak mudah untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, untuk pemahaman lebih lanjut perlu kiranya mengenali karakteristik umum dari pranata sosial yang dikemukakan oleh Gillin and Gillin, sebagai berikut: (Soemardjan dan Soemardi, 1964:67-70)
• Pranata sosial terdiri dari seperangkat organisasi daripada pemikiran-pemikiran dan pola-pola perikelakuan yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan. Karakteristik ini menegaskan kembali bahwa pranata sosial terdiri dari sekumpulan norma-norma sosial dan peranan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
• Pranata sosial itu relatif mempunyai tingkat kekekalan tertentu. Artinya, pranata sosial itu pada umumnya mempunyai daya tahan tertentu yang tidak lekas lenyap dalam kehidupan bermasyarakat.
• Pranata sosial itu mempunyai tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan. Tujuan dasarnya adalah merupakan pedoman serta arah yang ingin dicapai. Oleh karena itu, tujuan akan motivasi ataupun mendorong manusia untuk mengusahakan serta bertindak agar tujuan itu dapat terwujud. Dengan tujuan inilah maka merangsang pranata sosial untuk dapat melakukan fungsinya.
• Pranata sosial merupakan alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuannya. Alat-alat perlengkapan pranata sosial dimaksudkan agar pranata yang bersangkutan dapat melaksanakan fungsinya guna mencapai tujuan yang diinginkan.
• Pranata sosial itu mempunyai dokumen, baik yang tertulis maupun tidak. Dokumen ini dimaksudkan menjadi suatu landasan atau pangkal tolak untuk mencapai tujuan serta melaksanakan fungsinya.
Dengan mendasarkan diri pada tingkat kompleksitas penyebarannya, maka pranata sosial dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu:
• General social institutions Sesuai dengan namanya, maka pranata sosial ini dapat dikatakan hampir terdapat di setiap bentuk masyarakat, sehingga bersifat universal. Dari kenyataan yang demikian membuktikan bahwa pranata sosial mempunyai nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat terutama untuk kelangsungan hidupnya. Pranata sosial jenis ini dapat dikatakan netral, umum, atau tidak memihak terhadap komponen atau unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Agama merupakan salah satu contoh dari pranata sosial yang bersifat universal atau umum yang menghimpun dari berbagai macam agama tertentu, tanpa memihak terhadap salah satu agama tertentu tersebut
• Restricted social institutions Pranata sosial ini pada umumnya mempunyai corak yang khas atau khusus dalam kehidupan masyarakat. Kenyataan ini dipengaruhi oleh kaidah-kaidah serta peranan-peranan yang terdapat di dalam pranata itu mempunyai kekhususan. Karena sifat yang demikian, maka pola penyebarannya relatif lebih terbatas dibandingkan dengan pranata yang umum. Hal ini juga disebabkan oleh relatif lebih kecilnya kepentingan serta terbaginya minat warga ke dalam pranata lain yang bersifat khusus.
• Orientasi nilainya
1. Seperangkat kaidah sosial yang terkandung di dalam setiap pranata sosial mempunyai arti penting atau nilai di dalam kehidupan masyarakat. Namun, mengingat kaidah sosial itu pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tingkatan yang bersifat hierarkis, maka nilai-nilai dari kaidah tersebut juga dapat dikelompokkan ke dalam kategori pokok dan kurang pokok.
Subsidiary social institutions Pranata sosial sekunder didukung oleh kaidah sosial yang nilai-nilainya dianggap kurang penting untuk menunjang kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, jika di dalam kehidupan masyarakat tidak menggunakan pranata sekunder tidaklah mempengaruhi kelangsungan hidupnya. Sehingga penggunaan pranata ini hanya merupakan tambahan untuk memperoleh kenikmatan dalam hidup.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat ditarik dalam sebuah kesimpulan sebagai berikut :
1. Pranata Sosial merupakan sistim hubungan sosial yang terorganisir yang mengerjawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat.
2. Tujuan utama diciptakannya pranata sosial, adalah untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai sekaligus untuk mengatur agar kehidupan warga masyarakat berjalan dengan tertib dan lancar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
3. Pranata sosial pada umumnya mempunyai daya tahan tertentu yang tidak lekas lenyap dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Pranata sosial merupakan alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuannya.
5. Pranata sosial mempunyai dokumen, baik tertulis maupun tidak yang menjadi suatu landasan atau pangkal tolak untuk mencapai tujuan serta melaksanakan fungsinya
6. Pranata sosial dalam kehidupan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor,sehingga kemampuan nilai-nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia itu yang turut menentukan luas sempitnya penyebarannya. Bagaimana persepsi dan kepentingan masyarakat terhadap nilai dan peranan yang dimiliki oleh pranata sosial, sehingga ada tangapan yang baik tentang kepentingan yang kuat serta memberikan peluang ntuk dapat diterima secara menyebar luas di masyarakat.
7. Unsur-unsur dalam pranata sosial bukanlah individu-individu manusianya itu, akan tetapi kedudukan-kedudukan yang ditempati oleh para individu itu beserta aturan tingkah lakunya.
DAFTAR PUSTAKA
Narwoko Dwi.I, Suryanto Bagong. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media
O, Richard dan Van Loon, Borin. 1996. Sosiology for Beginners. Icon Book Ltd: Cambridge: Inggris (Terjemahan)
Soekanto Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Soekanto Soerjono. 1984. Teori Sosiologi. Jakarta Timur:Ghalia Indonesia
Sutanto, Phil Astrid S. 1978. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta.
ANALISIS
Dari makalah di atas dapat dianalisis sesuai dengan kaidah keprofesian hukum, bahwasanya Dalam hubungan hidup bermasyarakat, setiap manusia berpegang pada kaidah moral sebagai acuan perilakunya. Kaidah moral ini kemudian dijelmakan ke dalam kaidah sosial yang menjadi cermin setiap perbuatan hidup bermasyarakat, yang disebut hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan ini dihargai dan dipatuhi secara sadar oleh setiap anggota masyarakat. Tujuan hidup bermasyarakat ialah terpeliharanya ketertiban, kestabilan dan kebahagiaan berdasarkan hukum kebiasaaan.
Profesional hukum yang bermutu adalah profesional yang menguasai hokum Indonesia, mampu menganalisis masalah hukum dalam masyarakat, mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah konkret dengan bijaksana tetap berdasarkan prinsip-prinsip hukum, menguasai dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum, mengenal dan peka akan masalah keadilan dan masalah sosial. Setiap profesional hukum harus memiliki nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional hukum. Lima kriteria nilai moral yang kuat, yaitu kejujuran, keaslian, bertanggung jawab, kemandirian dan keberanian.
Notohamidjojo menyatakan dalam melaksanakan kewajibannya profesional hukum perlu memiliki:
1. Sikap manusiawi artinya tidak menanggapi hukum secara formal belaka, melainkan kebenaran yang sesuai dengan hati nurani;
2. Sikap adil artinya mencari kelayakan yang sesuai dengan perasaan masyarakat;
3. Sikap patut artinya mencari pertimbangan untuk menentukan keadilan dalam suatu perkara konkret;
4. Sikap jujur artinya menyatakan sesuatu itu benar menurut apa adanya dan menjauhi yang tidak benar dan tidak patut.
Kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu berbuat menyimpang dari kode etiknya, maka kelompok profesi itu akan tercemar di mata masyarakat.
Namun manusia dalam menjalani kehidupannya tidak lepas dari kecenderungan menyimpang atau menyelewengkan. Profesional hukum yang tidak bertanggung jawab melakukan pelanggaran dalam menjalankan profesinya karena lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongannya.
Dengan berpedoman pada norma hukum, masyarakat berharap banyak kepada profesional hukum agar masyarakat dapat dilindungi oleh hukum, hidup tertib, teratur dan bahagia. Sumaryono menyebutkan 5 (lima) masalah yang dihadapi profesi hukum sebagai kendala yang cukup serius, yaitu:
1. Kualitas pengetahuan profesional hukum;
2. Terjadinya penyalahgunaan profesi hukum;
3. Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis;
4. Penurunan kesadaran dan kepedulian sosial;
5. Kontinuasi sistem yang sudah usang.
Kode etik profesi semata-mata berdasarkan kesadaran moral, tidak mempunyai sanksi keras, sehingga pelanggar kode etik tidak merasakan akibat perbuatannya. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran serius terhadap kode etik profesi dapat ditempuh cara penundukan pada Undang-Undang, sehingga pelanggar kode etik akan diancam dengan sanksi seperti pelanggar Undang- Undang.
Penulis :Ahmad Mansur
0 komentar:
Posting Komentar