PENDAHULUAN
Pernikahan adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (Q.S. Al-Dzariyat : 49). Namun terdapat perbedaan yang besar antara manusia yang nota bene memiliki hawa nafsu dan akal dengan hewan yang hanya memilki nafsu.
Dengan hanya memiliki nafsu ini hewan tidak bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali dalam beberapa hal kecil untuk mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan instinct. Oleh karenanya hewan bisa menyalurkan nafsunya dengan sesukanya tanpa batasan, sedangkan manusia tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, melainkan harus dengan peraturan-peraturan yang berbentuk institusi perkawinan.
Dalam sejarah umat manusia, baik manusia priminif maupun manusia modern mengakui adanya institusi perkawinan ini, meskipun dengan cara berbeda-beda. Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti prostitusi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas yang walaupun mengakui institusi perkawinan, tetapi memiliki persepsi yang spesipik tentang hubungan seksual diluar perkawinan. Misalnya saja pada masyarakat Eskimo untuk menghormati tamu yang terpandang menyuruh isterinya untuk tidur dan memberikan pelayanan sex seperlunya kepada tamu tersebut.
PEMBAHASAN
Para ulama berbeda pendapat bahwa orang muslim tidak diperbolehkan menikahi wanita penyembah berhala (orang non muslim) seperti Firman Allah yang artinya :
“Janganlah kamu menikah dengan orang kafir” . Dan Firman Allah yang lain : “Jangan kau nikahi wanita wanita musyrik sebelum dia menjadi orang beriman”.
Sebagian Ulama berpendapat boleh menikahi wanita ahli kitab yang merdeka, tetapi menurut qoul yang masyhur tidak diperbolehkan. Menurut Iman Thowus dan Mujahid menikah dengan Ahli kitab diperbolehkan, Jadi menurut pendapat kebanyakan Ulama boleh menikahi Ahli kitab yang merdeka tetapi dengan Akad (perjanjian).
2. Penjelasan
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam. Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik.
Yang menjadi permasalahan rumit dan pelik disini adalah hukum perkawinan antar agama ini, dan memang dalam banyak kasus di masyarakat kita masih muncul resistensi yang begitu besar dalam masalah kawin beda agama ini. Hal ini disebabkan karena dalam sejumlah ayat yang secara literal melarang dan mengharamkan perkawinan antar agama ini, itulah sebabnya mengapa kelompok ekslusif melarang dan mengharamkan hukum perkawinan antar agama ini.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya. Namun harus terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik., atau kah antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik.
Apa bila terjadi perkwinan antara seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non Muslim baik ahl al- kitab atau musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah (1990 : 95) ulama fiqh sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan ini. Hal ini sebagaimana dilansir dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 221, yang artinya :
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Demikian tegas dan pastinya Islam meletakkan hukum bagi perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non muslim, menurut mereka seandainya terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada agamanya, maka perkawinan ini harus dibatalkan.
Demikian juga halnya bila perkawinan itu dilakukan oleh seorang laki-laki muslim dengan seorang wanita non-muslim, baik Ahlul Kitab atau musyrik. Menurut Ibnu Umar perkawinan antara seorang pria muslim dengan ahlul kitab maka hukumnya haram sama haramnya dengan mengawini wanita musyrik, alasannya adalah karena wanita ahlul kitab juga telah berlaku syirik dengan menuhankan nabi Isa. Alasan lain yang mengharamkan perkawinan jenis ini adalah karena ayat yang membolehkannya yaitu Q.S. Al-Maidah : 5 telah dianulir dengan Q.S. Al-Baqarah : 221.
Yang mengharamkan pernikahan seorang laki-laki muslim dengan ahlul kitab adalah karena laki-laki yang berkedudukan sebagai suami adalah memegang pimpinan dan kendali dalam rumah tangganya, ia adalah teladan dalam pembinaan akhlaq Islam dalam keluarganya, ia juga harus mampu menunjukkan keluhuran agama Islam dalam lingkungannya khususnya untuk anak dan isterinya. Tetapi Al-Sabuni menegaskan bahwa apabila dihawatirkan suami dan anak-anaknya akan terkena pengaruh agama isterinya yang kitabiyah, maka nikah dengan kitabiyah ini hukumnya haram.
Menanggapi masalah ini Yusuf al-Qordawi berpendapat, bahwa kebolehan nikah dengan wanita kitabiyah adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
1. Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama selain agama samawi.
2. Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshonat (memelihara kehormatan dirinya dari perbuatan zina)
3. Bukan wanita kitabiyah yang kaumnya berstatus musuh dengan kaum muslimin.
Namun di sisi lain sekelompok golongan yang menamakan dirinya inklusif-pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, memiliki konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan, sehingga tidak bisa dikatakan mana agama yang benar atau agama yang sesat, mengenai hukum perkawinan beda agama menurut mereka adalah boleh. Kelompok ini mendasarkan argumentasinya pada ayat suci Alquran yakni Q.S. al-Maidah ayat 5, yang berbunyi sebagai berikut :
Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Menurut mereka ayat ini merupakan ayat Madinah yang diturunkan setelah ayat yang melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman, ayat ini dapat disebut ayat revolusi karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan masyarakat muslim pada masa itu, karena pada ayat yang diturunkan sebelumnya, yaitu QS. Al-Baqarah : 221 menggunakan istilah musyrik yang bisa dimaknai untuk seluruh non muslim. Namun pada ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi) untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim. Maka menurut kelompok ini ayat ini berfungsi sebagai nasikh terhadap ayat sebelumnya.
Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim dalam buku Dekonstruksi Syari’ah mengatakan bahwa larangan dan pengharaman perkawinan antar agama ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang dimana seorang wanita dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama didepan hukum, sehingga larangan itu tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan hal tersebut seorang peneliti sosial yaitu Noryamin Aini yang melakukan penelitian terhadap praktek perkawinan beda agama di Yokjakarta mendapatkan hasil yang mengejutkan, dimana figur seorang ibu secara konsisten sangat dominan membawa anak-anaknya memeluk agama yang dianutnya. Kenyataan dari data ini sungguh dapat meruntuhkan asumsi dan mitos klasik sebagaimana yang disebutkan oleh Maulana Muhammad Ali yang menyatakan bahwa seorang wanita muslim yang menikah dengan pria non muslim akan menemukan banyak permasalahan dan problem dalam rumah tangganya. Oleh karena itu tidak ada lagi alasan empiris yang dapat dijadikan dasar melarang perkawinan antar agama.
3. Perkawian Lintas Agama menurut Mazhab Empat
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1) Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2). Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
3). Mazhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
(1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
(2). Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4). Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut diatas, dapat penulis simpulkan bahwa para ulama fiqh sepakat mengharamkan perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita muslim dengan seorang pria non-muslim apakah dia dari golongan ahlul kitab ataukah Musyrik.
Pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki Muslim dengan wanita Musyrik atau dengan Ahli kitab kebanyakan Ulama berpendapat bahwa pernikahan tersebut adalah haram begitu juga wanita muslim dengan laki-laki musyrik, sebab akan timbul berbagai masalah seperti status wali, pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi Ahmed An-Naim, 2001. Dekonstruksi Syari’ah (Terj) Bandung: Mizan.
Abdul Azis Dahlan, (Ed.) 2006. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiyar Baru van Hoeve.
Ahmad Shalaby, 2001. Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah.
Al-Jaziri, 1969. Kitab fiqh ‘ala mazahibul al-arba’ah, Juz IV, Beirut .
Ali Al-sabuni, 1972, Tafsir Ayat Ahkam, , juz I Makkah: Dar Al-Qur’an Al-Karim.
Amir Syarifuddin, 2007. Garis-garis besar Fiqh, Bogor: Kencana.
............., 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Bogor: Kencana.
Asnawi Ihsan, Warna-warni Hukum Perkawinan beda agama, http://asnawiihsan.blokspot.com/2007/03/, di akses pada 1 Mei 2008.
Chuzaimah T. Yanggo dan .A.Hafiz Anshary, (ed). 1996 Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: LSIK.
Departemen Agama RI, 1999 : Kompilasi Hukum Islam. Jakarta.: Proyek Pengadaan Departemen Agama RI.
Departemen Agama RI, 2003. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,Jakarta: Depag RI.
Ibnu Rusyd, 1986. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Mesir: Mustafa al-Babi al-Lahabi.
Muhammad Daud Ali, 2005. Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.
Muhammad Syaltuth, t.t. Al-Fatawa,Mesir: Dar al- Qolem.
Sayuti Thalib, 1986. Hukum Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: UI Press.
Sayyid Sabiq, 1990. Fiqh As-Sunnah, Terj. Drs. Muhammad Thalib, Bandung: PT. Al Ma’arif.
Setiawan Budi Utomo, 2007. Fiqh Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani.
Yusuf al-Qordawi, 1978. Huda al-Islam Fatawa Mu’asiraoh,Kairo: Dar Afaq.
Zuhairi Misrawi, Kawin beda Agama, www.islamemansipatoris.com . diakses pada 1 Mei 2008.
Penulis : Sulaiman
Pernikahan adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (Q.S. Al-Dzariyat : 49). Namun terdapat perbedaan yang besar antara manusia yang nota bene memiliki hawa nafsu dan akal dengan hewan yang hanya memilki nafsu.
Dengan hanya memiliki nafsu ini hewan tidak bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali dalam beberapa hal kecil untuk mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan instinct. Oleh karenanya hewan bisa menyalurkan nafsunya dengan sesukanya tanpa batasan, sedangkan manusia tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, melainkan harus dengan peraturan-peraturan yang berbentuk institusi perkawinan.
Dalam sejarah umat manusia, baik manusia priminif maupun manusia modern mengakui adanya institusi perkawinan ini, meskipun dengan cara berbeda-beda. Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti prostitusi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas yang walaupun mengakui institusi perkawinan, tetapi memiliki persepsi yang spesipik tentang hubungan seksual diluar perkawinan. Misalnya saja pada masyarakat Eskimo untuk menghormati tamu yang terpandang menyuruh isterinya untuk tidur dan memberikan pelayanan sex seperlunya kepada tamu tersebut.
PEMBAHASAN
Para ulama berbeda pendapat bahwa orang muslim tidak diperbolehkan menikahi wanita penyembah berhala (orang non muslim) seperti Firman Allah yang artinya :
“Janganlah kamu menikah dengan orang kafir” . Dan Firman Allah yang lain : “Jangan kau nikahi wanita wanita musyrik sebelum dia menjadi orang beriman”.
Sebagian Ulama berpendapat boleh menikahi wanita ahli kitab yang merdeka, tetapi menurut qoul yang masyhur tidak diperbolehkan. Menurut Iman Thowus dan Mujahid menikah dengan Ahli kitab diperbolehkan, Jadi menurut pendapat kebanyakan Ulama boleh menikahi Ahli kitab yang merdeka tetapi dengan Akad (perjanjian).
2. Penjelasan
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam. Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik.
Yang menjadi permasalahan rumit dan pelik disini adalah hukum perkawinan antar agama ini, dan memang dalam banyak kasus di masyarakat kita masih muncul resistensi yang begitu besar dalam masalah kawin beda agama ini. Hal ini disebabkan karena dalam sejumlah ayat yang secara literal melarang dan mengharamkan perkawinan antar agama ini, itulah sebabnya mengapa kelompok ekslusif melarang dan mengharamkan hukum perkawinan antar agama ini.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya. Namun harus terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik., atau kah antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik.
Apa bila terjadi perkwinan antara seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non Muslim baik ahl al- kitab atau musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah (1990 : 95) ulama fiqh sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan ini. Hal ini sebagaimana dilansir dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 221, yang artinya :
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Demikian tegas dan pastinya Islam meletakkan hukum bagi perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non muslim, menurut mereka seandainya terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada agamanya, maka perkawinan ini harus dibatalkan.
Demikian juga halnya bila perkawinan itu dilakukan oleh seorang laki-laki muslim dengan seorang wanita non-muslim, baik Ahlul Kitab atau musyrik. Menurut Ibnu Umar perkawinan antara seorang pria muslim dengan ahlul kitab maka hukumnya haram sama haramnya dengan mengawini wanita musyrik, alasannya adalah karena wanita ahlul kitab juga telah berlaku syirik dengan menuhankan nabi Isa. Alasan lain yang mengharamkan perkawinan jenis ini adalah karena ayat yang membolehkannya yaitu Q.S. Al-Maidah : 5 telah dianulir dengan Q.S. Al-Baqarah : 221.
Yang mengharamkan pernikahan seorang laki-laki muslim dengan ahlul kitab adalah karena laki-laki yang berkedudukan sebagai suami adalah memegang pimpinan dan kendali dalam rumah tangganya, ia adalah teladan dalam pembinaan akhlaq Islam dalam keluarganya, ia juga harus mampu menunjukkan keluhuran agama Islam dalam lingkungannya khususnya untuk anak dan isterinya. Tetapi Al-Sabuni menegaskan bahwa apabila dihawatirkan suami dan anak-anaknya akan terkena pengaruh agama isterinya yang kitabiyah, maka nikah dengan kitabiyah ini hukumnya haram.
Menanggapi masalah ini Yusuf al-Qordawi berpendapat, bahwa kebolehan nikah dengan wanita kitabiyah adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
1. Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama selain agama samawi.
2. Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshonat (memelihara kehormatan dirinya dari perbuatan zina)
3. Bukan wanita kitabiyah yang kaumnya berstatus musuh dengan kaum muslimin.
Namun di sisi lain sekelompok golongan yang menamakan dirinya inklusif-pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, memiliki konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan, sehingga tidak bisa dikatakan mana agama yang benar atau agama yang sesat, mengenai hukum perkawinan beda agama menurut mereka adalah boleh. Kelompok ini mendasarkan argumentasinya pada ayat suci Alquran yakni Q.S. al-Maidah ayat 5, yang berbunyi sebagai berikut :
Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Menurut mereka ayat ini merupakan ayat Madinah yang diturunkan setelah ayat yang melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman, ayat ini dapat disebut ayat revolusi karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan masyarakat muslim pada masa itu, karena pada ayat yang diturunkan sebelumnya, yaitu QS. Al-Baqarah : 221 menggunakan istilah musyrik yang bisa dimaknai untuk seluruh non muslim. Namun pada ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi) untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim. Maka menurut kelompok ini ayat ini berfungsi sebagai nasikh terhadap ayat sebelumnya.
Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim dalam buku Dekonstruksi Syari’ah mengatakan bahwa larangan dan pengharaman perkawinan antar agama ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang dimana seorang wanita dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama didepan hukum, sehingga larangan itu tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan hal tersebut seorang peneliti sosial yaitu Noryamin Aini yang melakukan penelitian terhadap praktek perkawinan beda agama di Yokjakarta mendapatkan hasil yang mengejutkan, dimana figur seorang ibu secara konsisten sangat dominan membawa anak-anaknya memeluk agama yang dianutnya. Kenyataan dari data ini sungguh dapat meruntuhkan asumsi dan mitos klasik sebagaimana yang disebutkan oleh Maulana Muhammad Ali yang menyatakan bahwa seorang wanita muslim yang menikah dengan pria non muslim akan menemukan banyak permasalahan dan problem dalam rumah tangganya. Oleh karena itu tidak ada lagi alasan empiris yang dapat dijadikan dasar melarang perkawinan antar agama.
3. Perkawian Lintas Agama menurut Mazhab Empat
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1) Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2). Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
3). Mazhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
(1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
(2). Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4). Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut diatas, dapat penulis simpulkan bahwa para ulama fiqh sepakat mengharamkan perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita muslim dengan seorang pria non-muslim apakah dia dari golongan ahlul kitab ataukah Musyrik.
Pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki Muslim dengan wanita Musyrik atau dengan Ahli kitab kebanyakan Ulama berpendapat bahwa pernikahan tersebut adalah haram begitu juga wanita muslim dengan laki-laki musyrik, sebab akan timbul berbagai masalah seperti status wali, pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi Ahmed An-Naim, 2001. Dekonstruksi Syari’ah (Terj) Bandung: Mizan.
Abdul Azis Dahlan, (Ed.) 2006. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiyar Baru van Hoeve.
Ahmad Shalaby, 2001. Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah.
Al-Jaziri, 1969. Kitab fiqh ‘ala mazahibul al-arba’ah, Juz IV, Beirut .
Ali Al-sabuni, 1972, Tafsir Ayat Ahkam, , juz I Makkah: Dar Al-Qur’an Al-Karim.
Amir Syarifuddin, 2007. Garis-garis besar Fiqh, Bogor: Kencana.
............., 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Bogor: Kencana.
Asnawi Ihsan, Warna-warni Hukum Perkawinan beda agama, http://asnawiihsan.blokspot.com/2007/03/, di akses pada 1 Mei 2008.
Chuzaimah T. Yanggo dan .A.Hafiz Anshary, (ed). 1996 Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: LSIK.
Departemen Agama RI, 1999 : Kompilasi Hukum Islam. Jakarta.: Proyek Pengadaan Departemen Agama RI.
Departemen Agama RI, 2003. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,Jakarta: Depag RI.
Ibnu Rusyd, 1986. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Mesir: Mustafa al-Babi al-Lahabi.
Muhammad Daud Ali, 2005. Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.
Muhammad Syaltuth, t.t. Al-Fatawa,Mesir: Dar al- Qolem.
Sayuti Thalib, 1986. Hukum Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: UI Press.
Sayyid Sabiq, 1990. Fiqh As-Sunnah, Terj. Drs. Muhammad Thalib, Bandung: PT. Al Ma’arif.
Setiawan Budi Utomo, 2007. Fiqh Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani.
Yusuf al-Qordawi, 1978. Huda al-Islam Fatawa Mu’asiraoh,Kairo: Dar Afaq.
Zuhairi Misrawi, Kawin beda Agama, www.islamemansipatoris.com . diakses pada 1 Mei 2008.
Penulis : Sulaiman
0 komentar:
Posting Komentar