Aborsi Menurut Hukum Islam
Dr. Abdurrahman Al Baghdadi  mengatakan aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa)  ditiupkan. Jika dilakukan setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4  (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha)  sepakat akan keharamannya.
 Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika  aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan  sebagiannya mengharamkannya. 
Yang memperbolehkan aborsi sebelum  peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An  Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula  yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami  pertumbuhan.
Yang mengharamkan aborsi  sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya  At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud  Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa  sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah  haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami  pertumbuhan 
dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang  bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi  eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan  setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi  yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh.  (Pendapat  yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi  setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa  peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah  bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
“Sesungguhnya  setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari  dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula,  kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh  kepadanya.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi].
Maka  dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena  berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam  kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada  dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu  membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki  kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-An’aam : 151).
“Dan janganlah  kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan  rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-Isra`: 31).
“Dan  janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)  melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (Qs. al-Isra`:  33).
“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (Qs. at-Takwiir : 8-9)
Berdasarkan  dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa  atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi  itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Adapun  aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di  atas, para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini. Akan tetapi  menurut pendapat Syaikh Abdul Qadim Zallum (1998) dan Dr. Abdurrahman Al  Baghdadi (1998), hukum syara’ yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai  berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42  (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan  pembentukan janin, maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama  dengan hukum keharaman aborsi setelah peniu¬pan ruh ke dalam janin.  Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari,  maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa.  
Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah hadits Nabi Saw berikut:
“Jika  nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah  mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut;  dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan  tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya  Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau  perempuan?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan…” [HR. Muslim dari  Ibnu Mas’ud r.a.].
Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si  janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu  tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Siapa saja dari  mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa  dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat  bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan,  atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana  telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah  Saw bersabda :
“Rasulullah Saw memberi keputusan dalam masalah  janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati,  dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan…” [HR.  Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah r.a.] (Abdul Qadim Zallum, 1998).
Sedangkan  aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya  boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam  rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai  nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang  menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Di samping itu,  pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat  disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk  mencegah terjadinya kehamilan. ‘Azl dilakukan oleh seorang laki-laki  yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab ‘azl  merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perem¬puan.  Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan  mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya  pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan  kehamilan.
Rasulullah Saw telah membolehkan ‘azl kepada seorang  laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli  budak perempuannya, sementara dia tidak mengingin¬kan budak perempuannya  hamil. Rasulullah Saw bersabda kepa¬danya:
“Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka!” [HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud].
Namun  demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin,  ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya  menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan  kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini,  dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa  ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran  Islam, sesuai firman Allah SWT:
“Barangsiapa yang memelihara  kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara  kehidupan manusia semuanya.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 32) .
Di  samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya  pengobatan. Sedangkan Rasulullah Saw telah memerintahkan umatnya untuk  berobat. Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa  Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka  berobatlah kalian!” [HR. Ahmad].
Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:
“Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan madharatnya.” 
Berdasarkan  kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika  keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti  membunuh janinnya. Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat.  Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan  kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan  kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan  nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan  keberadaan janin tersebut.  
Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi  diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan  karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah pendapat yang tidak  kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel  telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri  sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu  belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh  adalah  “sesuatu yang ada pada organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al ka`in  al hayyi).  Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan,  gerak, iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan  sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan  sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat  kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada  kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel  sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur  dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada setelah  pembuahan.
Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang  mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan  alasan sudah adanya kehidupan, adalah pendapat yang lemah, sebab tidak  didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian kehidupan (al  hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan bahwa sebelum  terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti tidak ada  kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak  demikian. Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala  sesuatu aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk  ‘azl. Sebab dalam aktivitas ‘azl terdapat upaya untuk mencegah  terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel  telur (sebelum bertemu). Padahal ‘azl telah dibolehkan oleh Rasulullah  Saw. Dengan kata lain, pendapat yang menyatakan haramnya aborsi setelah  pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan,  akan bertentangan dengan hadits-hadits yang membolehkan ‘azl.
Referensi:
*Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128
 *Masjfuk  Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M.  Ali Hasan, 1995, *Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah  Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil *Uman, 1994, Agama Menjawab  Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990,
*Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79).
*Abdul  Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam:  Kloning, *Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ  Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, halaman 45-56;
*Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, halaman 129
 *Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35
 *Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998
 *Ghanim Abduh,  Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85
Home »
Fiqih Kontemporer
 » Boleh atau tidaknya melakukan aborsi
Boleh atau tidaknya melakukan aborsi
Posted by Unknown
 Posted on 17.53
 with No comments
Ditulis Oleh : Unknown ~Materi Pendidikan
.gif) Anda sedang membaca artikel berjudul Boleh atau tidaknya melakukan aborsi yang ditulis oleh Materi Pendidikan yang berisi  tentang : yang suka dengan artikel tersebut silahkan Download dan klik share...
Anda sedang membaca artikel berjudul Boleh atau tidaknya melakukan aborsi yang ditulis oleh Materi Pendidikan yang berisi  tentang : yang suka dengan artikel tersebut silahkan Download dan klik share...
Blog,  Updated at: 17.53
 


0 komentar:
Posting Komentar