Home » » Tawuran Di Tinjau Dari Aspek Sosiologi Hukum

Tawuran Di Tinjau Dari Aspek Sosiologi Hukum

A.    Tawuran Jamaah Ahmadiyah
Kejadian tawuran di desa Desa Umbulan Kecamatan Cikeusik Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten beberapa hari lalu (Ahad, 6 Februari 2011) yang menewaskan 6 orang menjadi headline news di hampir
seluruh surat kabar yang terbit hari Senin dan menjadi liputan utama berbagai stasiun televisi. Hampir seluruh media memberitakan bahwa Ahmadiyah DISERANG / DISERBU oleh ratusan warga.
 Berita pun berlanjut dengan pernyataan-pernyataan kecaman serta kutukan oleh banyak tokoh-tokoh yang –konon katanya- merupakan tokoh agama, tokoh lintas agama, tokoh pembela HAM, tokoh nasional, tokoh pecinta damai, dan aneka tokoh-tokoh lainnya. Dan seperti biasa, suara paling nyaring jika terjadi peristiwa-peristiwa ‘kekerasan’ seperti ‘itu’, banyak tokoh tiba-tiba lantang berbicara dan berkoar-koar. Anehnya, para tokoh-tokoh itu berbicara tanpa tahu atau mungkin pura-pura tidak tahu akan akar persoalan maupun kronologis kejadiannya.
Berikut beberapa pernyataan tokoh-tokoh
1.    Mereka yang menamakan diri Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Warga Negara yang beranggotakan LBH Jakarta, YLBHI, Elsam, Kontras, Human Right Working Group, Imparsial, ICRP, Praxis, ILRC, Madia, Wahid Institute, Maarif Institute, dan LBH Masyarakat.  Mereka mengeluarkan tujuh poin pernyataan bersama yang intinya menuntut tindakan hukum yang tegas kepada perencana serangan dan para pelakunya. Beberapa tokoh HAM yang hadir dalam pernyataan bersama ini adalah Dewan Pembina YLBHI Todung Mulya Lubis dan Koordinator Kontras Usman Hamid;
2.    Komnas Ham mengutuk serangan itu dan menyebutnya sebagai pelanggaran Ham berat;
3.    Jimly Asshiddique, menegaskan bahwa tindakan brutal terhadap jamaah Ahmadiyah itu harus diusut tuntas. Pemerintah harus bersikap tegas.
4.    Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR) mengecam keras dan mendesak Presiden SBY bertindak konkret. “Saya mengecam keras penyerangan dan mengharapkan kebijakan serta tindakan konkret pemerintah,” kata Rafendi Djamin, wakil Republik Indonesia untuk AICHR;
5.    Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai ada unsur terencana pada kasus penyerangan itu. “Ada kelompok anarkis yang tidak suka terhadap aliran Ahmadiyah,” kata aktivis Kontras, Syafiq Alielha.
6.    Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengecam tindakan kekerasan atas nama agama itu. “Kalau soal aqidah, saya tidak setuju Ahmadiyah. Tapi ini soal perlindungan warga negara,” kata Anas.
7.    Forum Persaudaraan Umat Beragama (FPUB) Yogyakarta menuntut Kapolres Pandeglang, AKBP Alex Fauzi Rasyad mundur. “Karena aparat keamanan membiarkan penyerangan terhadap warga Ahmadiyah,” kata Kyai Haji Abdul Muhaimin, Ketua FPUB.
8.    Ketua Fraksi PKB DPR Marwan Jafar menegaskan, kekerasan terhadap warga Ahmadiyah tidak bisa dibenarkan untuk menyelesaikan masalah. Ia meminta Polri mengusut pelaku dan penyebab kekerasan. Polri juga diminta mengungkapkan kronologi kejadian.
 Berdasarkan hasil penelusuran pemberitaan insiden tawuran tersebut dan mendengarkan wawancara langsung sebuah stasiun televisi dengan Kapolres Pandeglang terungkaplah kronologis insiden berdarah itu, kronologis awal tawuran bermula pada Sabtu malam, puluhan anggota Jamaah Ahmadiyah dari Kota Bogor tiba di Cikeusik dengan menumpang dua kendaraan roda empat, dan menginap di sebuah rumah 
Selanjutnya, pada Ahad pagi, sekitar seribuan warga dari berbagai daerah, diantaranya berasal dari Kecamatan Cibaliung, Cikeusik Kabupaten Pandeglang dan Kecamatan Malingping Kabupaten Lebak mendatangi rumah Parman (pimpinan Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik) 
Saat massa (warga) tiba, puluhan Jamaah Ahmadiyah yang berada di rumah Parman sudah siap dan mereka membawa berbagai jenis senjata tajam, seperti samurai, parang dan tombak. Sesaat kemudian, salah seorang anggota Jamaah Amhadiyah membacok lengan kanan warga setempat  hingga nyaris putus. “Pembacokan inilah yang memicu tawuran. Warga marah karena melihat lengan kanan  nyaris putus
Pernyataan itu selaras dengan pernyataan Kapolres Pandeglang,  yang menyebut bahwa Jamaah Ahmadiyah-lah yang pertama kali melakukan serangan dengan menggunakan senjata-senjata tajam melawan warga yang sebenarnya sudah tenang.
Jamaah Ahmadiyah pun sengaja memprovokasi warga dengan pernyataan-pernyataan ‘SIAP MATI’. Atas provokasi dan serangan oknum-oknum Jamaah Ahmadiyah, warga pun bertahan sambil melawan. Secara otomatis, Jamaah Ahmadiyah yang sedikit tak mampu mengalahkan warga yang jumlahnya lebih banyak. Barulah kemudian pembakaran terjadi. Yang perlu dicatat adalah Jamaah Ahmadiyah-lah yang pertama kali menyerang dengan senjata tajam. 
B.    Upaya Pencegahan Tawuran
Apa para tokoh itu tahu jika upaya-upaya pencegahan tawuran sudah dilakukan jauh-jauh hari? Dan lagi-lagi jamaah Ahmadiyah tetap membandel. Sebagai misal, langkah yang sebelumnya ditempuh oleh aparat musyawarah pimpinan kecamatan (Muspika) dengan beberapakali memanggil Suparman sebagai pimpinan Ahmadiyah agar menghentikan kegiatan keagamaan yang dinilai tidak lazim dengan umat muslim lainya.  Selain itu juga Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakor Pakem) yang diketuai Kejaksaan Negeri sudah melarang kegaitan Ahmadiyah yang dilakukan Suparman. “Saya kira jika pimpinan Ahmadiyah menaati aturan itu dipastikan tidak akan terjadi tawuran yang menimbulkan korban jiwa,” katanya.
Meski sudah diajak bicara baik-baik, Jamaah Ahmadiyah justru mengadakan kegiatan. Semua bermula dari informasi yang diterima tanggal 3 Februari 2011, yakni akan ada kegiatan Ahmadiyah di Desa Cipeda, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang Banten. Jamaah itu dipimpin oleh Ismail Suparman.
Masyarakat menyatakan tidak terima dan akan melakukan penertiban. Kepolisian setempat kemudian memutuskan untuk melakukan evakuasi terhadap Ismail agar tidak diserang warga. Jam 15 di evakuasi ke Polres. Kemudian pada tanggal 6 Februari, sebelum penyerangan dari warga terjadi, sekitar pukul 07.00 WIB Deden, yang berasal dari Ahmadiyah Pusat mendatangi rumah Ismail yang kosong.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Perlindungan Masyarakat dan Politik Kabupaten Pandeglang   menambahkan, tawuran itu dipicu kedatangan sejumlah jamaah Ahmadiyah dari luar daerah yang justru menjadi biang provokator. Dan selanjutnya, terjadilah tawuran.
C.    Tawuran Di Tinjau Dari Aspek Sosiologi Hukum
1.    Arti Definisi / Pengertian Penyimpangan Sosial (social deviation)
a.    Menurut Robert M. Z. Lawang penyimpangan perilaku adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sitem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
b.    Menurut James W. Van Der Zanden perilaku menyimpang yaitu perilaku yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang tercela dan di luar batas toleransi.
Menurut Lemert penyimpangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder. Penyimpangan primer adalah suatu bentuk perilaku menyimpang yang bersifat sementara dan tidak dilakukan terus-menerus sehingga masih dapat ditolerir masyarakat seperti melanggar rambu lalu lintas, buang sampah sembarangan, dll. Sedangkan penyimpangan sekunder yakni perilaku menyimpang yang tidak mendapat toleransi dari masyarakat dan umumnya dilakukan berulang kali seperti merampok, menjambret, memakai narkoba, menjadi pelacur, dan lain-lain.
2.    Macam-Macam / Jenis-Jenis Penyimpangan Individual (individual deviation)
Penyimpangan individual atau personal adalah suatu perilaku pada seseorang dengan melakukan pelanggaran terhadap suatu norma pada kebudayaan yang telah mapan akibat sikap perilaku yang jahat atau terjadinya gangguan jiwa pada seseorang.
a.    Tingkatan bentuk penyimpangan seseorang pada norma yang berlaku :
Bandel atau tidak patuh dan taat perkataan orang tua untuk perbaikan diri sendiri serta tetap melakukan perbuatan yang tidak disukai orangtua dan mungkin anggota keluarga lainnya.
b.    Tidak mengindahkan perkataan orang-orang disekitarnya yang memiliki wewenang seperti guru, kepala sekolah, ketua rt rw, pemuka agama, pemuka adat, dan lain sebagainya.
c.    Melakukan pelanggaran terhadap norma yang berlaku di lingkungannya.
d.    Melakukan tindak kejahatan atau kerusuhan dengan tidak peduli terhadap peraturan atau norma yang berlaku secara umum dalam lingkungan bermasyarakat sehingga menimbulkan keresahan. ketidakamanan, ketidaknyamanan atau bahkan merugikan, menyakiti, dll.
3. Macam-Macam / Jenis-Jenis Penyimpangan Bersama-Sama / Kolektif (group deviation)
Penyimpangan Kolektif adalah suatu perilaku yang menyimpang yang dilakukan oleh kelompok orang secara bersama-sama dengan melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga menimbulkan keresahan, ketidakamanan, ketidaknyamanan serta tindak kriminalitas lainnya.
Bentuk penyimpangan sosial tersebut dapat dihasilkan dari adanya pergaulan atau pertemanan sekelompok orang yang menimbulkan solidaritas antar anggotanya sehingga mau tidak mau terkadang harus ikut dalam tindak kenakalan atau kejahatan kelompok.
4.    Bentuk penyimpangan kolektip :
a.    Tindak Kenakalan
Suatu kelompok yang didonimasi oleh orang-orang yang nakal umumnya suka melakukan sesuatu hal yang dianggap berani dan keren walaupun bagi masyarakat umum tindakan trsebut adalah bodoh, tidak berguna dan mengganggu. Contoh penyimpangan kenakalan bersama yaitu seperti aksi kebut-kebutan di jalan, mendirikan genk yang suka onar, mengoda dan mengganggu cewek yang melintas, corat-coret tembok orang dan lain sebagainya

b.    Tawuran / Perkelahian Antar Kelompok
Pertemuan antara dua atau lebih kelompok yang sama-sama nakal atau kurang berpendidikan mampu menimbulkan perkelahian di antara mereka di tempat umum sehingga orang lain yang tidak bersalah banyak menjadi korban. seperti Contoh di atas dan sebagainya.
c.    Tindak Kejahatan Berkelompok / Komplotan
Kelompok jenis ini suka melakukan tindak kejahatan baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka. Jenis penyimpangan ini bisa bertindak sadis dalam melakukan tindak kejahatannya dengan tidak segan melukai hingga membunuh korbannya. Contoh : Perampok, perompak, bajing loncat, penjajah, grup koruptor, sindikat curanmor dan lain-lain.
d.    Penyimpangan Budaya
Penyimpangan kebudayaan adalah suatu bentuk ketidakmampuan seseorang menyerap budaya yang berlaku sehingga bertentangan dengan budaya yang ada di masyarakat. Contoh : merayakan hari-hari besar negara lain di lingkungan tempat tinggal sekitar sendirian, syarat mas kawin yang tinggi, membuat batas atau hijab antara laki-laki dengan wanita pada acara resepsi pernikahan, dsb.

D.    Posisi Jihad
Jihad dan perjuangan bersenjata termasuk bagian dari syariah Islam yang tidak boleh diingkari oleh kaum Muslim. Hanya saja, tindakan fisik dan jihad harus diposisikan sesuai dengan konteks dan manath yang telah ditetapkan oleh syariah. Pada dasarnya, syariah telah mensyariatkan jihad dan perjuangan bersenjata untuk memecahkan problem-problem tertentu; seperti ketika negara kafir menyerang Daulah Islamiyah; atau ketika negara kafir tidak mau tunduk dan menyerahkan jizyah kepada Negara Islam; dan lain sebagainya. Hanya dalam konteks-konteks seperti inilah jihad bisa dilaksanakan dan diterapkan.
Tentu salah jika jihad dijadikan sebagai metode untuk memecahkan problem sosial, problem keluarga, atau problem-problem lain yang metode pemecahannya telah ditetapkan secara spesifik oleh Asy-Syari’. Demikian pula dalam konteks dakwah menegakkan Daulah Islamiyah. Sesungguhnya Asy-Syari’ tidak menetapkan jihad dan tindakan fisik sebagai metode untuk menegakkan Daulah Islamiyah, sebagaimana Asy-Syari’ tidak menjadikan qira’ah al-Quran sebagai metode untuk mengusir musuh yang masuk ke Negara Islam.
Berdasarkan pengkajian yang jernih dan mendalam terhadap sirah dakwah Nabi saw., dapatlah disarikan bahwa Asy-Syari’ telah menetapkan thalabun nushrah sebagai metode syar’i untuk menegakkan Daulah Islamiyah, bukan yang lain.
Aktivitas thalabun nushrah yang dilakukan oleh Nabi saw. terlihat jelas setelah paman dan istri beliau wafat. Setelah dua orang yang melindungi dirinya dan dakwah wafat, permusuhan kafir Quraisy terhadap Rasulullah saw. dan para Sahabatnya semakin meningkat, bahkan lebih keras dibandingkan dengan semasa paman dan istri beliau masih hidup. Bahkan Rasulullah saw. bersabda, “Orang Quraisy tidak menimpakan satu pun keburukan kepadaku sampai wafatnya Abu Thalib. ”
Setelah paman dan istri beliau wafat, beliau pergi ke Thaif mencari dukungan dari kabilah ini dengan mendatangi para pembesar Thaif. Beliau meminta agar mereka mau mendukung Islam dan melawan kaum Quraisy yang menentang beliau. Para pemuka Thaif menolak permintaan Rasulullah saw. Bahkan mereka mengirim surat kepada orang-orang Quraisy. Padahal Rasulullah saw telah meminta mereka secara rahasia. Akibatnya, Rasulullah saw. tidak bisa masuk kembali ke Makkah kecuali dengan perlindungan.
Rasul juga menyeru para pemuka kabilah-kabilah Arab sebagaimana yang dituturkan dalam sirah, “Ya Bani fulan! Saya adalah utusan Allah bagi kalian, dan menyeru kalian untuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, dan agar kalian meninggalkan apa yang kalian sembah, beriman dan percaya kepadaku, dan janganlah kalian mencegah aku, sampai aku menjelaskan apa yang telah Allah sampaikan kepadaku.”
Akan tetapi paman beliau Abu Lahab, berdiri di belakang beliau, membantah dan mendustakan perkataan beliau. Tak satu pun kabilah menerima beliau. Mereka bahkan berkata, “Kaummu lebih tahu tentang engkau dan tidak mengikuti engkau.” Mereka membantah dan mendebat beliau. Beliau pun membantah dan mendebat mereka serta mendoakan mereka kepada Allah. Rasul berdoa, “Ya Allah, jika Engkau berkehendak, janganlah Engkau menjadikan mereka seperti ini.”
 Akhirnya, atas ijin dan pertolongan Allah, penduduk Madinah memberikan nushrah mereka kepada Rasulullah saw. Terjadilah peristiwa penting yang menandai babak baru dakwah Rasulullah saw., yakni peristiwa Baiat Aqabah II. Pada saat itulah, penduduk Madinah menyerahkan kekuasaannya kepada Nabi Muhammad saw., yang kemudian disusul dengan berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah.
Demikianlah, Rasulullah saw. telah memberikan teladan kepada Kaum Muslim langkah-langkah dakwah untuk sampai pada jenjang kekuasaan/pemerintahan. Langkah-langkah dakwah seperti inilah yang wajib dijadikan sebagai metode syar’i untuk menegakkan Daulah Islamiyah, bukan perjuangan senjata.
E.    Solusi
Perlu juga menjadi catatan, Ahmadiyah adalah sebuah aliran yang sudah dinyatakan sesat baik oleh MUI, Ulama Dunia, bahkan di Pakistan (tempat lahir Ahmadiyah) dan di Inggris (Markas Ahmadiyah) Ahmadiyah dinyatakan bukan bagian dari Islam. Tetapi mereka masih saja membandel seolah menantang keputusan-keputusan pemerintah itu. Pemerintah juga tidak tegas terhadap para pengikut Ahmadiyah. Tak hanya pemerintah, tokoh-tokoh agama dan pengusung faham liberalism agama pun justru tanpa tedeng aling-aling mensupport mereka guna melawan keputusan pemerintah.
Kalau memang semua mau menyelesaikan masalah ini, tugas pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah menetapkan ajaran itu sebagai ajaran yang boleh atau tidak boleh ada di Indonesia. Kalau dianggap sebagai ajaran yang tidak boleh, maka tugas pemerintah untuk melarang ajaran itu ada. Pemerintah harus bisa menjelaskan kepada jemaahnya bahwa ajaran itu adalah ajaran yang salah dan tidak boleh diikuti. Perangkat hukum itu sebenarnya sudah ada yaitu  SKB 3 Menteri yang intinya memerintahkan menghentikan seluruh kegiatan JAI (Jamaah Ahmadiyah Indonesia).  Hanya saja, SKB tersebut kurang tegas dan perlu peran pemerintah untuk mempertegas kembali pelarangan dan pembubarannya.Ketika kemudian masih ada kelompok yang mengikuti ajaran itu, maka tugas dari masyarakat untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang. Kalau ada yang memaksa untuk ikut ajaran itu, padahal ajaran itu dilarang oleh negara, maka mereka harus legowo dihadapkan kepada hukum. Namun sebaliknya, ketika negara menganggap ajaran itu boleh ada, maka semua warganegara yang lain harus menghormatinya.
Sekarang ini banyak persoalan yang muncul karena pemerintah sendiri tidak pernah jelas terhadap sikapnya. Akibatnya, penegak hukum selalu berada di wilayah abu-abu. Masyarakat pun kemudian menginterpretasikan secara sendiri-sendiri. Semua tindakan kekerasan dan main hakim sendiri tidak akan pernah terjadi kalau pemimpinnya tegas. Kemudian pemimpin juga tampil untuk memberikan edukasi kepada masyarakat dan mentransformasikan bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki peradaban. Intinya, meskipun fakta berbicara bahwa beberapa Jamaah Ahmadiyah tewas dalam tawuran, tak bisa menjadikan bahwa ajaran Ahmadiyah tidak sesat.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, ed.I, 1995, Dar al-Ummah
http://organisasi.org/macam-jenis-pengertian-penyimpangan-sosial-individual-dan-kolektif-
Sirah Ibnu Hisyam, lihat pada catatan kurung; Ahmad Mahmud

Ditulis Oleh : Unknown ~Materi Pendidikan

seocips.com Anda sedang membaca artikel berjudul Tawuran Di Tinjau Dari Aspek Sosiologi Hukum yang ditulis oleh Materi Pendidikan yang berisi tentang : yang suka dengan artikel tersebut silahkan Download dan klik share...

Blog, Updated at: 23.50

0 komentar:

Posting Komentar