1. Definisi
Mudharabah dalam bahasa Arab merupakan bentuk wazan mufa'alah dari kata dharaba, yang berarti [1] memukul dan [2] melakukan perjalanan.
Dalam hal ini yang lebih digunakan adalah melakukan perjalanan, dimana di masa Rasulullah SAW,
mengadakan perjalanan itu identik dengan melakukan perniagaan atau perdagangan.
Sedangkan dalam ilmu fiqih, mudharabah didefinisikan sebagai (عقد شركة في الربح بمال من جانب وعمل من جانب), yaitu akad persekutuan dalam keuntungan dengan modal dari satu pihak dan kerja dari pihak lain.
2. Masyru'iyah
Mudharabah adalah akad yang dibolehkan dalam syariah Islam berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma' para fuqaha.
2.1. Al-Quran Al-Kariem
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an (QS. Al Muzammil : 20)
2.2. As-Sunnah
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ :كَانَ العَبّاسُ بنِ عَبْدِ المطَّلِب رَضي اللّه عنه إِذَا دَفَعَ مَالاً مُضَارَبَةً اشْتَرَطَ عَلىَ صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْراً وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِياً وَلاَ يَشْتَرِي بِهِ ذَاتَ كَبِدٍ رَطبةٍ فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ ضَامِنٌ فَرُفِعَ شَرْطَهُ إِلىَ رَسُولِ اللّهِ ص فَأَجَازَهُ
Dari Ibnu Abbas RA bahwa Al-Abbas bin Abdil Mutthalib RA bila menyerahkan harta secara mudharabah mensyaratkan kepada rekannya untuk tidak membawa harta itu melewati laut, atau menuruni lembah dan tidak membelanjakan hewan yang punya hati kering. Dia rekannya menyetujui syarat itu maka dia menjaminnya. Maka diangkatlah syarat itu kepada Rasulullah SAW dan beliau SAW membolehkannya (HR. Al-Baihaqi)
2.3. Ijma'
Kebolehan akad mudharabat ini dikuatkan dengan ijma', dimana diriwayatkan bahwa banyak diantara para shahabat Nabi SAW menyerahkan harta anak yatim dalam bentuk mudharabah.
Di antara mereka adalah Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Al-Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar, Ubaidillah bin Umar, serta Aisyah ridhwanullahi alaihim. Dan tidak ada satu pun riwayat yang mengingkari adanya hal itu.
Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga zaman ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi SAW.
3. Hikmah Disyariatkan Mudharabah
Islam mensyariatkan akad kerja sama mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya.
Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shahibulmal (investor) memanfaatkan keahlian mudharib (pengelola), dimana dia memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
5. Jenis Mudharabah
Para ulama membagi Mudharabah menjadi dua jenis:
5.1. Muthlaqah
Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
5.2. Muqayyadah (terbatas)
Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan mudharib.
Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.
6. Rukun Mudharabah
Mudharabah memiliki tiga rukun: [1] Pelaku, baik investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib), [2] Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan. [3] Pelafalan perjanjian.
Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelaskan bahwa rukun mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun diatas.
6.1. Pelaku
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (jaizut-tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya.
Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram.
Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.
6.2. Objek Transaksi
Objek transaksi dalam mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
6.2.1. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
a. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’21 atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih. 22
b. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui23
c. Modal yang diserahkan harus tertentu
d. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.24
Jadi dalam mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal mudharabah.
Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada mudharib (pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modmudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi ketidak jelasan dalam pembagian keuntungan.
6.2.2. Jenis Usaha
Jenis usaha disini disyaratkan beberapa syarat:
a. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
b. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. 25
Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.26
6.2.3. Pembatasan Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab Hambaliyyah.27 dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.28
6.2.4. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
a. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang.29 Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.30
b. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.31
c. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
d. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat.32 Apa bila ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.
6.3. Pelafalan Perjanjian
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi mudharabah atau syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.41
7. Syarat Dalam Mudharabah42
Pengertian syarat dalam Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan mudharabah. Syarat dalam Mudharabah ini ada dua:
7. 1. Syarat Sah
Syarat yang ini menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut.
Contohnya pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan.
Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.
7. 2. Syarat fasad (tidak benar).
Syarat ini terbagi tiga:
7.2.1. Syarat meniadakan tuntutan konsekuensi akad
Seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
7.2.2. Syarat yang bukan dari kemaslahatan
Juga bukan tuntutan akad, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
7.2.3. Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan
Misalnya mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan.
Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.
8. Berakhirnya Usaha Mudharabah
Mudharabah bisa berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki.
Transaksi mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau ediot.
Imam Ibnu Qudamah menyatakan: “Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena ediot; hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakiel dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya.
Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia di awalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha tersebut”.
Imam Syafi’i menyatakan: “Kapan penilik modal ingin mengambil modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola ingin keluar dari qiraadh maka ia keluar darinya”.
Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan.
Apabila berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.
Referensi :
Ada beberapa pelafalan dari kata ini, boleh dibaca syirkah, syarikah atau syarkah.
Lihat Lisanul Arab
Ad-Durr Al-Mukhtar jilid 4 halaman 483
Lihat Takmilah AL Majmu’ Syarhu Al Muhadzab imam nawawi oleh Muhammad Najieb Al Muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu’ Syatrhul Muhadzab
Lihat kitab Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu, karya prof. DR Abdullah Al Mushlih dan prof. DR. Shalah Al Showi
Majmu’ Syarhu Almuhadzab jilid 15 halaman 191
Al Mughni jilid 7 halaman 172
Penulis : Ust. Ahmad Sarwat, Lc
Mudharabah dalam bahasa Arab merupakan bentuk wazan mufa'alah dari kata dharaba, yang berarti [1] memukul dan [2] melakukan perjalanan.
Dalam hal ini yang lebih digunakan adalah melakukan perjalanan, dimana di masa Rasulullah SAW,
mengadakan perjalanan itu identik dengan melakukan perniagaan atau perdagangan.
Sedangkan dalam ilmu fiqih, mudharabah didefinisikan sebagai (عقد شركة في الربح بمال من جانب وعمل من جانب), yaitu akad persekutuan dalam keuntungan dengan modal dari satu pihak dan kerja dari pihak lain.
2. Masyru'iyah
Mudharabah adalah akad yang dibolehkan dalam syariah Islam berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma' para fuqaha.
2.1. Al-Quran Al-Kariem
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an (QS. Al Muzammil : 20)
2.2. As-Sunnah
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ :كَانَ العَبّاسُ بنِ عَبْدِ المطَّلِب رَضي اللّه عنه إِذَا دَفَعَ مَالاً مُضَارَبَةً اشْتَرَطَ عَلىَ صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْراً وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِياً وَلاَ يَشْتَرِي بِهِ ذَاتَ كَبِدٍ رَطبةٍ فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ ضَامِنٌ فَرُفِعَ شَرْطَهُ إِلىَ رَسُولِ اللّهِ ص فَأَجَازَهُ
Dari Ibnu Abbas RA bahwa Al-Abbas bin Abdil Mutthalib RA bila menyerahkan harta secara mudharabah mensyaratkan kepada rekannya untuk tidak membawa harta itu melewati laut, atau menuruni lembah dan tidak membelanjakan hewan yang punya hati kering. Dia rekannya menyetujui syarat itu maka dia menjaminnya. Maka diangkatlah syarat itu kepada Rasulullah SAW dan beliau SAW membolehkannya (HR. Al-Baihaqi)
2.3. Ijma'
Kebolehan akad mudharabat ini dikuatkan dengan ijma', dimana diriwayatkan bahwa banyak diantara para shahabat Nabi SAW menyerahkan harta anak yatim dalam bentuk mudharabah.
Di antara mereka adalah Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Al-Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar, Ubaidillah bin Umar, serta Aisyah ridhwanullahi alaihim. Dan tidak ada satu pun riwayat yang mengingkari adanya hal itu.
Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga zaman ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi SAW.
3. Hikmah Disyariatkan Mudharabah
Islam mensyariatkan akad kerja sama mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya.
Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shahibulmal (investor) memanfaatkan keahlian mudharib (pengelola), dimana dia memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
5. Jenis Mudharabah
Para ulama membagi Mudharabah menjadi dua jenis:
5.1. Muthlaqah
Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
5.2. Muqayyadah (terbatas)
Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan mudharib.
Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.
6. Rukun Mudharabah
Mudharabah memiliki tiga rukun: [1] Pelaku, baik investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib), [2] Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan. [3] Pelafalan perjanjian.
Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelaskan bahwa rukun mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun diatas.
6.1. Pelaku
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (jaizut-tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya.
Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram.
Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.
6.2. Objek Transaksi
Objek transaksi dalam mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
6.2.1. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
a. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’21 atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih. 22
b. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui23
c. Modal yang diserahkan harus tertentu
d. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.24
Jadi dalam mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal mudharabah.
Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada mudharib (pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modmudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi ketidak jelasan dalam pembagian keuntungan.
6.2.2. Jenis Usaha
Jenis usaha disini disyaratkan beberapa syarat:
a. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
b. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. 25
Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.26
6.2.3. Pembatasan Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab Hambaliyyah.27 dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.28
6.2.4. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
a. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang.29 Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.30
b. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.31
c. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
d. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat.32 Apa bila ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.
6.3. Pelafalan Perjanjian
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi mudharabah atau syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.41
7. Syarat Dalam Mudharabah42
Pengertian syarat dalam Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan mudharabah. Syarat dalam Mudharabah ini ada dua:
7. 1. Syarat Sah
Syarat yang ini menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut.
Contohnya pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan.
Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.
7. 2. Syarat fasad (tidak benar).
Syarat ini terbagi tiga:
7.2.1. Syarat meniadakan tuntutan konsekuensi akad
Seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
7.2.2. Syarat yang bukan dari kemaslahatan
Juga bukan tuntutan akad, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
7.2.3. Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan
Misalnya mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan.
Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.
8. Berakhirnya Usaha Mudharabah
Mudharabah bisa berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki.
Transaksi mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau ediot.
Imam Ibnu Qudamah menyatakan: “Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena ediot; hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakiel dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya.
Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia di awalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha tersebut”.
Imam Syafi’i menyatakan: “Kapan penilik modal ingin mengambil modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola ingin keluar dari qiraadh maka ia keluar darinya”.
Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan.
Apabila berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.
Referensi :
Ada beberapa pelafalan dari kata ini, boleh dibaca syirkah, syarikah atau syarkah.
Lihat Lisanul Arab
Ad-Durr Al-Mukhtar jilid 4 halaman 483
Lihat Takmilah AL Majmu’ Syarhu Al Muhadzab imam nawawi oleh Muhammad Najieb Al Muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu’ Syatrhul Muhadzab
Lihat kitab Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu, karya prof. DR Abdullah Al Mushlih dan prof. DR. Shalah Al Showi
Majmu’ Syarhu Almuhadzab jilid 15 halaman 191
Al Mughni jilid 7 halaman 172
Penulis : Ust. Ahmad Sarwat, Lc
0 komentar:
Posting Komentar